Rini, Rini kamu di mana?
Di Jl. Raya Srandakan – Brosot dia ngebut dan menghilang.
Duh....
Rini sempat mengirim pesan WhatsApp ke Dwi. Katanya, dia menunggu di ujung Jembatan Srandakan.
Tapi kok setelah menyeberangi Jembatan Srandakan nggak terlihat tanda-tanda keberadaan Rini ya?
Jadi, setelah berhenti agak lama di pinggir jalan dan menelpon Rini tapi nggak diangkat-angkat, aku dan Dwi menunggu dirinya di pertigaan gapura Pancasila Desa Kranggan.
Bosan motrat-motret nggak jelas, mengintiplah aku ke layar smartphone-nya istri. Tertera jam 17.07 pada hari Sabtu (18/11/2018).
Selang beberapa menit kemudian Rini pun nongol. Holadala! Rupanya dia tadi berhenti membeli “sesuatu” di toko dekat Jembatan Srandakan. Pantas saja sepeda motornya nggak kelihatan.
Seperti yang Rini janjikan siang tadi, ia mengajak kami menyambangi kerkhof di dekat rumahnya. Kerkhof itu kuburannya orang Belanda.
Eh, sebetulnya siang tadi itu Rini bertamu ke rumah kami di Kota Jogja. Padahal Dwi sudah bilang kalau kami mau main ke rumahnya di Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo.
Tapi, karena hari itu Rini sepertinya sedang mbuuuh , jadilah sore itu kami bertamu ke rumahnya setelah siang harinya ia bertamu ke rumah kami. Biar ke Kulon Progonya konvoi kata Rini.
Berarti, pergi-pulang sekitar 50 km lebih dirinya… weh.
Eh, sebetulnya kami juga bakal menempuh jarak yang kurang-lebih sama sih.
Berhubung matahari semakin condong ke ufuk barat, kami pun segera meluncur ke Dusun Sewugalur, tempat di mana kerkhof yang dimaksud berada. Dengan membuntuti Rini, kami tiba di Dusun Sewugalur kurang dari lima menit.
“Eh, kebablasan, ayo balik!” kata Rini saat menyusuri jalan di selatan kantor Desa Karangsewu.
Beh! Rupanya orang Galur juga bisa nyasar di Galur.
Kami pun berkendara menyusuri gang yang diapit rumah-rumah berhalaman lebar dan berpohon-pohon kelapa tinggi. Beberapa puluh detik kemudian kami tiba di suatu jalan kecil berpemandangan sawah.
“Itu kerkhof-nya,” kata Rini.
Hooooo!
Bertetangga dengan persawahan, terdapat tanah kosong yang ditumbuhi rumput liar dan pohon-pohon pisang. Di sisi tanah kosong itu ada tugu berukuran agak gemuk. Itulah nisan kuburan orang Belanda.
RUHE SANFT
MARIA ARABELLA
JUNEMANN
GEB 20 NOVEMBER
OVERL 24 AUGU
Kalau menurut Google Translate, mendiang bernisan itu adalah Maria Arabella Junemann. Lahirnya tanggal 20 November. Meninggalnya 24 Agustus.
Dari namanya, kemungkinan besar Maria Arabella Junemann itu bukan orang Jawa . Bisa jadi dia orang Belanda yang dulu pernah tinggal di Dusun Sewugalur.
Lha, kenapa bisa ada orang Belanda yang tinggal dan dimakamkan di Dusun Sewugalur?
Itu karena pada zaman penjajahan Belanda di Dusun Sewugalur pernah berdiri suatu pabrik gula. Namanya Pabrik Gula (PG) Sewugalur. Petinggi pegawai pabrik gula itu orang-orang Belanda. Mereka tinggal bersama keluarganya di sekitar pabrik.
Aku nggak mau bercerita panjang lebar tentang sejarah PG Sewugalur karena sudah banyak blogger yang menceritakannya di internet seperti saudari Rini dan saudara Lengkong.
- https://riniarr.wordpress.com/2018/01/07/menelusuri-jejak-kejayaan-pabrik-gula-sewugalur/
- http://jejakkolonial.blogspot.com/2016/02/telusur-sisa-pabrik-gula-sewugalur.html
Singkat sejarahnya, PG Sewugalur pernah berjaya pada tahun 1920-an. Sayang, krisis ekonomi dunia pada tahun 1930-an (The Great Depression) membuat bangkrut pabrik gula ini karena harga jual gula menjadi sangat rendah.
Saat ini bangunan PG Sewugalur tak lagi bersisa. Pada zaman penjajahan Jepang, bangunan PG Sewugalur dihancurkan. Di dekat PG Sewugalur dulu juga pernah berdiri stasiun kereta api.
Sumber foto: https://beeldbankwo2.nl
“Dulu tulisan di nisannya nggak dispidol,” kata Rini ketika mengamati nisan Maria Arabella Junemann. “Siapa ya yang ngasih spidol?”
Waktu “dulu” yang dimaksud oleh Rini adalah ketika ia menapak-tilas peninggalan PG Sewugalur bersama Komunitas Roemah Toea pada Oktober 2017. Pada waktu itu area kerkhof sudah dibersihkan dari rumput liar. Tapi, sekarang rumputnya sudah tumbuh subur lagi.
“Dulu sempat menggelar tikar di sana kok,” kata Rini menunjuk rumput-rumput di antara nisan.
Selain nisannya Maria Arabella Junemann, di kerkhof ini juga terdapat nisan-nisan lain. Mereka juga berkawan akrab dengan rumput liar dan pohon-pohon pisang . Ada nisan yang wujudnya seperti tugu. Ada juga nisan yang wujudnya terlentang.
Hanya saja, nisannya Maria Arabella Junemann lebih beruntung karena plat marmer namanya masih ada (walaupun sudah terpotong ). Kata Rini, plat-plat marmer di nisan yang lain hilang dicuri orang. Kalau dijual harganya mahal.
Weh!
Semoga kalian yang dimakamkan di sini beristirahat dengan damai. Rest in peace. Ruhe sanft.
Aamiin.
Rampung menyambangi kerkhof, Rini lalu mengajak kami untuk menyambangi rumah tua peninggalan Belanda. Katanya, itu rumah tua terbesar di Dusun Sewugalur.
Sayang, saat ini rumah tua Belanda itu sudah nggak utuh. Struktur yang tersisa hanya tembok-tembok yang retak-retak karena digoncang gempa pada tahun 2006 silam.
“Nggak boleh masuk, soalnya gampang rubuh kalau kena getaran,” kata Rini mengingatkan.
Heeeee… iya sih. Kalau melihat retakan besar di tembok ambang pintu, sepertinya rubuhnya rumah hanya tinggal menunggu waktu.
Jadi, dengan tetap memakai helm di kepala, aku memotret-motret rumah tua Belanda itu dari luar. Penasaran, aku kemudian menyusuri sisi samping rumah.
Dari lubang jendela, terlihat jelas bagian dalam rumah. Langit-langitnya tinggi, lubang pintunya besar (mungkin dulu pintunya berdaun dua), dan lantai rumahnya dilapisi tegel semen bermotif sisik tanpa warna.
Sepertinya, rumah tua Belanda ini dimanfaatkan warga sebagai "gudang". Di dalam rumah terlihat tumpukan batu bata, sepet (kulit kelapa tua kering), dan ranting kayu yang biasa digunakan sebagai bahan bakar tungku.
Katanya, di halaman belakang rumah ada kandang kuda dan juga kolam renang. Tapi, karena rumput liarnya tinggi-tinggi dan rawan ular, jadi ya... nggak usah dieksplorasi deh.
Hal yang bikin aku tercengang dari rumah tua Belanda ini adalah tumpukan sampah di wot (jembatan kecil selokan di depan rumah). Mengenaskan banget. Dulu, mungkin rumah ini dihuni oleh pejabat tinggi pabrik gula. Sekarang malah jadi tempat pembuangan sampah.
Sedih....
Untungnya, selain rumah tua besar yang mengenaskan itu, Dusun Sewugalur masih memiliki beberapa rumah tua lain yang kondisinya utuh. Rini pun mengajak menyambangi rumah-rumah itu mumpung pancaran cahaya matahari masih tersisa sedikit.
Di tengah perjalanan, Rini sempat mengajak mampir melihat lapangan yang dahulu adalah gudang lori pengangkut tebu PG Sewugalur. Sayang, sayang, sayang, sisa-sisa bangunan ataupun rel lori sudah lenyap tak bersisa.
Nggak jauh dari Pasar Mbabrik Sewugalur rupanya berdiri deretan rumah tua. Sebagian besar rumah tua itu masih terawat.
“Nanti kita salat magrib di sini,” kata Rini memandang Masjid Al-Mustofa.
Sepeda motor kami diparkir di pinggir jalan aspal. Tepat di seberang Masjid Al-Mustofa dan di depan suatu rumah tua berpohon mangga rindang.
Nggak seberapa lama, dua cowok ABG berboncengan bersepeda motor datang. Mereka memarkir kendarannya di halaman rumah. Tanpa ragu-ragu, mereka memetik mangga-mangga apel yang sudah ranum dengan bilah bambu.
“Ini rumahnya adiknya simbah saya Mbak,” kata salah satu cowok ABG yang seakan melegalisasi aksi mereka.
Dibanding rumah tua besar, rumah tua di depan Masjid Al-Mustofa ini masih terawat. Halamannya bersih, cat temboknya masih putih, dan lampu rumahnya menyala. Di tembok dekat pintu masuk utama tertempel plakat bertuliskan bangunan cagar budaya.
Sayangnya (duh sayangnya lagi ), pada malam hari, serambi rumah tua ini menjadi tempat tidurnya orang edan
. Terlihat di serambi ada semacam dipan dan juga ceceran camilan.
Kok ya nggak ada yang tinggal di rumah tua ini ya?
“Itu rumahnya Bu Jamal, narasumber Sewugalur,” kata Rini menunjuk rumah tua di sebelah selatan.
Kata Rini, ia mengunjungi rumah tua Bu Jamal pada saat menapak-tilas peninggalan PG Sewugalur bersama Komunitas Roemah Toea Oktober 2017 silam. Karena waktu itu sudah nyaris Magrib, jadi kami bertiga hanya melihat rumah Bu Jamal dari luar.
Sepengamatanku, pencahayaan rumah Bu Jamal lebih redup. Di sisi samping rumah terdapat paviliun, bangunan rumah kecil yang biasanya menjadi tempat menginap tamu.
Di sebelah selatan rumah Bu Jamal terdapat reruntuhan bangunan rumah tua. Di sebelah selatannya lagi terdapat rumah tua yang lampu halamannya menyala, tapi kata Rini nggak dihuni. Dwi meminta difoto di muka rumah tua itu.
Azan magrib berkumandang dari Masjid Al-Mustofa. Kami pun menyudahi aktivitas berjalan kaki melihat-lihat rumah tua untuk menunaikan salat Magrib di masjid.
Rupanya Masjid Al-Mustofa itu juga menempati bangunan tua. Tapi, bagian dalamnya sudah dipoles modern walau kesan antiknya masih sangat kental.
Ada hal yang bikin aku tercengang dari deretan rumah-rumah tua di seberang Masjid Al-Mustofa itu. Sejajar dengan masjid turut berdiri kompleks perumahan. Namanya Sewugalur Village. Pihak pengembang menyediakan rumah tipe 36, 50, atau sesuai selera.
Agak gimana gitu melihatnya. Kompleks perumahan modern berhadap-hadapan dengan kompleks perumahan zaman penjajahan Belanda. Apa mungkin seiring dengan berjalannya waktu, rumah-rumah tua itu (terutama yang tinggal reruntuhan) akan bersalin rupa menjadi hunian modern?
Semoga saja nggak. Semoga Dusun Sewugalur tetap lestari menjadi saksi bisu adanya pemukiman Belanda di pesisir selatan Yogyakarta.
Aamiin.
Terima kasih Rini sudah menjadi pemandu keliling Dusun Sewugalur pada sore hari ini.
Senang ada orang Galur yang mengerti dengan sejarah tanah kelahiran mereka.
KATA KUNCI
- bangunan tua
- belanda
- brosot
- dwi susanti
- galur
- karangsewu
- kerkhof
- kerkhof sewugalur
- kuburan
- kuburan belanda
- kuburan karangsewu
- kuburan tua
- kulon progo
- makam
- makam belanda
- makam belanda yogyakarta
- makam karangsewu
- makam tua
- maria arabella junemann
- masjid al-mustofa
- nisan belanda
- nisan belanda
- nisan tua
- pabrik gula
- pabrik gula sewugalur
- rini
- rumah belanda
- rumah bu jamal
- rumah tua
- sejarah
- sewugalur
- stasiun
- stasiun sewugalur
NIMBRUNG DI SINI