Maw Mblusuk?

HALO PEMBACA!

Selamat nyasar di blog Maw Mblusuk? !

Di blog ini Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi unik seputar aktivitas blusukan-ku ke sana-sini. Eh, kalau ada kritik, saran, atau pesan bilang-bilang aku yah! Nuwun!

Cari Artikel

LANGGANAN YUK!

Dengan berlangganan, Anda akan senantiasa mendapatkan update artikel terbaru blog ini.


Bisa berlangganan melalui e-mail.

oleh FeedBurner

Atau melalui RSS Feed berikut.
feeds.feedburner.com/mblusuk
Jumat, 31 Agustus 2018, 06:00 WIB

Sebagaimana yang sebagian besar orang belum pada tahu, selain terampil sebagai ahli pijat dan lihai sebagai seniman, Mbah Gundul ternyata juga mahir meracik kopi!

 

WOOOH!

 

Sekadar sekilas info. Sekitar tahun 2015 – 2016, Mbah Gundul pernah vakum dari dunia persepedaan. Usut punya usut, ternyata dirinya sedang men-develop minuman kopi yang ia promosikan sebagai,

 

“Kopi Fermentasi tanpa luwak & kami roasting tradisional. Rasanya Searah Kopi Luwak.”

 

 

Kemudian, guna memperkenalkan racikan kopinya itu ke masyarakat luas, Mbah Gundul lantas mengemasnya dengan label Comel Coffee. Rumah keduanya yang beralamat di Jl. Gedongkuning Selatan 203 B (also known as Joglo Pit) ia sulap menjadi warung kopi. Kalau bingung, lokasinya persis di seberangnya Tune Hotel dan di sebelahnya Hotel Gaharu.

 

Jujur, dari luar tampilannya memang agak creepy alias meragukan sebagai warung kopi sih. Yah... namanya juga Mbah Gundul yang punya usaha. #eh

 

 

Nah, bagi Pembaca yang hobi ngopi, jelas wajib hukumnya menjajal Comel Coffee!

 

Warung kopi Comel Coffee (lazimnya) buka mulai pukul 5 sore sampai sengantuknya si Mbah. Warung kopinya tutup saat Mbah Gundul sedang pergi atau pas dirinya kecapekan bersepeda, hahaha.

 

Eh, ini aku kok malah jadi promosi Comel Coffee sih!? #dibayar.juga.nggak

 

 

Kebetulan, objek sasaran kami ber-PEKOK ria pada Rabu (17/5/2017) silam adalah ke Puncak Suroloyo. Tempat ini memang sudah lama terkenal sebagai daerah penghasil kopi di Yogyakarta.

 

Eh, sebenarnya bukan hanya Puncak Suroloyo saja sih! Kawasan lereng Perbukitan Menoreh yang masuk ke wilayah Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo itu terkenal sebagai penghasil kopi. Jenis kopi yang ditanam robusta dan juga arabika. Selain kopi, di Samigaluh juga ada kebun teh, coklat, dan cengkeh.

 

Banyak kebun ya di Samigaluh?

 

pemandangan perkebunan kopi menoreh kulon progo zaman dulu pada Mei 2017

 

Berhubung kami sudah bersusah payah jauh-jauh bersepeda sampai Puncak Suroloyo, kesempatan ini nggak disia-siakan Mbah Gundul buat berburu biji kopi Menoreh.

 

“Wis! Mengko pas bali aku meh tuku kopi sing dipepe nang tengah ndalan kae yo!” [1]

 

[1] Wis! Nanti pas pulang aku mau beli kopi yang dijemur di tengah jalan itu ya!

 

Itu laporan misi yang aku terima dari Mbah Gundul seusai dirinya gagal mendapatkan biji kopi dari Mas Win sang pemilik Warung Kopi Suroloyo. Kata Mas Win, sekarang ini peminat biji kopi Menoreh meroket sementara pasokannya masih sedikit. Dengar-dengar panen kopi juga musiman ya?

 

suasana warung kopi menoreh mas win di area parkiran puncak suroloyo zaman dulu pada Mei 2017

 

Ndilalah, saat kami hendak bertolak dari Sendang Kawidodaren, Mbah Gundul melihat penampakan nampah-nampah penuh biji kopi yang sedang dikeringkan di atap suatu rumah. Melihat objek yang menggiurkan seperti itu jelas Mbah Gundul memberi instruksi,

 

“Wis! Ayo nang kono ndilit!” [2]

 

[2] Wis! Ayo ke sana sebentar!

 

Sebagaimana kawan yang pasrah diajak keluyuran ke sana-sini, aku pun mengayuh Trek-Lala menuju rumah yang dimaksud si Mbah. Sayangnya, kami nggak mendapati seorang pun di sekitar rumah. Niat Mbah Gundul untuk meminang biji-biji kopi itu pun sulit terlaksana.

 

“Jajal ndodok omah e wae Mbah. Sopo ngerti ono wong nang njero,” [3] saranku.

 

[3] Coba diketuk rumahnya Mbah. Siapa tahu ada orang di dalam.

 

Akan tetapi, saranku yang terdengar masuk akal itu malah nggak dianggap sama si Mbah #sedih. Aku perhatikan Mbah Gundul malah celingak-celinguk mirip maling yang hendak menyantroni rumah kosong.

 

Eh, kalau ngomongin maling, aku sendiri sih lebih berminat memaling jeruk di pohon rumah sebelah. Kan enak itu pas capek bersepeda terus makan yang seger-seger gratis. #eh

 

pemandangan warga desa suroloyo menjemur biji kopi menoreh di atap rumah pada zaman dulu Mei 2017

suasana pemandangan rumah warga desa di puncak suroloyo samigaluh kulon progo pada zaman dulu Mei 2017

 

“Wis! Kuwi kopine fotonen sik!” [4] perintah Mbah Gundul kepadaku yang sedang mencari-cari  buah jeruk yang ranum.

 

[4] Wis! Itu kopinya sana difoto dulu!

 

Begitu aku selesai memotret nampah-nampah kopi yang bersarang di atap, eh, si Mbah malah ngilang!

 

Ternyata, Mbah Gundul pergi menghampiri seorang ibu di rumah seberang yang sedang memberi makan sapi peliharannya. Aku nggak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Tapi yang jelas, mereka kemudian berjalan beriringan menuju rumah yang di atapnya ada nampah-nampah biji kopi yang dikeringkan itu.

 

“Enten e mung ngeten niki e Mas!” [5] ujar si ibu sambil menurunkan nampah-nampah dari atap, “Tasih dereng garing.” [6]

 

[5] Adanya ya seperti ini Mas.

[6] Masih belum kering.

 

Hooo! Rupanya nampah-nampah biji kopi yang sedang dijemur itu punya ibu ini toh?

 

“Mbah, kok kowe iso ngerti ibu e sing nduwe kopi?” [7] tanyaku penasaran.

 

“Hehehe... yo ngono lah,” [8] jawab si Mbah misterius

 

Hadeh....

 

[7] Mbah, kok dirimu tahu si ibunya itu yang punya kopi?

[8] Hehehe, ya begitulah.

 

potret hidup keseharian warga desa di puncak suroloyo pada zaman dulu Mei 2017

 

Ibu pemilik biji kopi ini bernama Bu Mukilah. Dalam satu nampah beliau menjemur hampir sekitar 1 kg biji kopi basah. Dalam satu nampah ini pun jenis kopinya dicampur antara arabika dan robusta.

 

“Kinten-kinten kalih, tigang dinten malih sampun kering Mas,” [9] jelas Bu Mukilah pada Mbah Gundul yang asyik mengecek biji-biji kopi.

 

“Mpun. Ngeten mawon Bu. Mangke kula pepe piyambak malih,” [10] jawab Mbah Gundul. “Kula ajeng tumbas setunggal kilo, pinten?” [11]

 

[9] Kira-kira dua, tiga hari lagi sudah kering Mas.

[10] Sudah. Ini saja Bu. Nanti saya jemur sendiri lagi.

[11] Saya mau beli satu kilogram, berapa?

 

Awalnya Bu Mukilah ragu-ragu menjual kopinya yang masih setengah kering ke Mbah Gundul. Tapi, berkat kegigihan bujuk rayu si Mbah, akhirnya hati Bu Mukilah luluh juga, hahaha.

 

“Biasane menawi kering sekilo Rp50.000 Mas,” [12] jawab Bu Mukilah yang kurang paham harga kopi setengah kering.

 

“Nggih pun Bu. Kula tumbase Rp50.000 nggih,” [13] balas Mbah Gundul lalu merogoh selembar uang berwarna biru dari dalam tasnya.

 

[12] Biasanya kalau kering, satu kilogramnya Rp50.000 Mas.

[13] Ya sudah Bu. Saya beli Rp50.000 ya.

 

wisatawan membeli biji kopi menoreh langsung dari petani kopi di desa puncak suroloyo pada zaman dulu Mei 2017

 

Dari hasil nguping ceritanya Mbah Gundul, salah satu “rahasia” racikan Comel Coffee itu ialah proses penjemuran biji kopi. Mbah Gundul biasanya menjemur kopi utuh dengan buahnya. Sedangkan umumnya petani kopi kan menguliti buah kopi terlebih dahulu sebelum dijemur.

 

Oleh sebab itulah proses penjemuran kopi ala Mbah Gundul ini memakan waktu yang lebih lama. Mbah Gundul bilang kira-kira butuh waktu hampir satu bulan supaya biji kopinya benar-benar kering. Itu pun nanti masih harus difermentasi lagi. Sayang, sampai sekarang resep fermentasinya belum berhasil aku korek. #cih!

 

“Mbah! Kopi Suroloyo karo Comel Coffee enak ndi?” [14]

 

“Yo Comel Coffee lah!” [15] sahut Mbah Gundul yakin.

 

“Mosok? Resep Comel Coffee ora dibagi ke warung kopi liyane Mbah?” [16]

 

“Yo ora! Kuwi kan rahasia perusahaan!” [17]

 

“Lha bukannya mestine kabeh sejahtera yo Mbah?” [18]

 

“Yo kan beda penyajian, cara mengolah e. Resep ki ibarat e alat kelamin. Ora dipertontonkan tapi dinikmati.” [19]

 

“Woh! Ngawur kowe Mbah! Nek kopi kan dinikmati kabeh wong, lha alat kelamin mosok yo podo?” [20]

 

“Hehehe, nek alat kelamin sing nikmati bojone!” [21]

 

“Tapi kan awak e dewe urung nduwe bojo Mbah...” [22]

 

[14] Mbah! Kopi Suroloyo sama Comel Cofee enak mana?

[15] Ya Comel Cofee lah!

[16] Mosok? Resep Comel Cofee nggak dibagi ke warung kopi lainnya Mbah?

[17] Ya nggak! Itu kan rahasia perusahaan!

[18] Lha bukannya mestinya semua sejahtera ya Mbah?

[19] Ya kan beda penyajian, cara mengolahnya. Resep itu ibarat alat kelamin. Nggak dipertontonkan tapi dinikmati.

[20] Woh! Ngawur dirimu Mbah! Kalau kopi kan dinikmati semua orang, lha alat kelamin masak ya sama?

[21] Hehehe, kalau alat kelamit yang menikmati istrinya!

[22] Tapi kan kita ini belum punya istri Mbah...

 

harga bungkus satu kilogram biji kopi menoreh suroloyo pada Mei 2017

 

Agenda PEKOK kali ini pun membuahkan hasil yang tak terduga. Selain aku berkesempatan singgah di Curug Watu Jengger, Mbah Gundul juga berkesempatan membawa pulang satu kilogram lebih kopi setengah kering.

 

Jadi, pada puas semua kan? Hahaha.

 

 

Katanya, dua sampai tiga hari lagi Mbah Gundul bakal kembali ke mari untuk membeli buah kopi merah yang dijanjikan Bu Mukilah. Tentu ampuh sekali bilamana nanti si Mbah ke sini dengan bersepeda, hahaha.

 

Sedangkan aku, kalau diajak ke sini lagi...

 

...

 

Haduuuh!!!

 

Nanti saja lah kalau sudah lupa gimana kemiringan tanjakan ke Puncak Suroloyo!

 

Mending tinggal nunggu jadi di Comel Coffee saja deh.

 

Eh, itupun kalau Mbah Gundul sregep membuka warung kopinya.


NIMBRUNG DI SINI

UPS! Anda harus mengaktifkan Javascript untuk bisa mengirim komentar!
  • NASIRULLAH SITAM
    avatar komentator ke-0
    NASIRULLAH SITAM #Senin, 3 Sep 2018, 08:10 WIB
    Woalah, berarti aku sudah beberapa kali ngopi dan ngeteh di tempate Mbah Gundul mas.
    Lah acara Le Tour De Jogja kan rapatnya di sini hahaahahahahha.
    Lha gene. Mestinya dirimu say hai sama yang punya tempat toh? :D