Maw Mblusuk?

HALO PEMBACA!

Selamat nyasar di blog Maw Mblusuk? !

Di blog ini Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi unik seputar aktivitas blusukan-ku ke sana-sini. Eh, kalau ada kritik, saran, atau pesan bilang-bilang aku yah! Nuwun!

Cari Artikel

LANGGANAN YUK!

Dengan berlangganan, Anda akan senantiasa mendapatkan update artikel terbaru blog ini.


Bisa berlangganan melalui e-mail.

oleh FeedBurner

Atau melalui RSS Feed berikut.
feeds.feedburner.com/mblusuk
Minggu, 20 Mei 2018, 11:01 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Jika mencermati angka yang tertera di patok pinggir jalan, jarak ke Puncak Suroloyo masih sekitar enam kilometer lagi. Sementara itu, sudah hampir seperempat kilometer aku bersepeda menyusuri lereng Perbukitan Menoreh yang wujudnya turunan.

 

Bagi para pesepeda, jalan turunan adalah nikmat Tuhan yang tak terkira. Para pesepeda sepatutnya bersyukur. Tak perlulah bersusah payah mengayuh pedal. Hemat napas. Hemat tenaga. Hemat energi. Apalagi jika jarak pulang ke rumah tercinta masih jauh.

 

foto jalan hutan lereng menoreh arah suroloyo

 

Akan tetapi, aku... sama sekali nggak gembira bersepeda di jalan turunan ini.

 

Hatiku was-was. Pikiranku cemas. Semuanya itu terluap ke dalam ocehan,

 

“Perasaanku ora penak Mbaaaah!” [1]

 

“Iki tekan kapan meduneeee!?” [2]

 

“Ngendi tanjakan sing jaremu dhuwur kae Mbaaaah!?” [3]

 

[1] Perasaanku nggak enak Mbaaaah!

[2] Ini sampai kapan turunnyaaaa!?

[3] Mana tanjakan yang kamu bilang tinggi itu Mbaaaah!?

 

foto pria baju hitam bersepeda ke suroloyo

 

Mbah Gundul, pria nyentrik berkepala plontos yang menjadi kawan bersepeda ke Puncak Suroloyo pada hari Rabu (17/5/2017) yang lalu itu malah membalas ocehanku dengan jawaban yang blas sama sekali nggak menentramkan hati,

 

“Ngendi yo? Aku lali je? Hehehehe...” [4]

 

#mak.dyer!

#tendang.simbah.ke.jurang.menoreh

 

[4] Mana ya? Aku lupa tuh? Hehehehe...

 

Mampir Sik Mbah!

Aku sudah paham “teori”-nya. Sangat, sangat, sangat, PAHAM!

 

Eh, bukan teori sih. Tapi lebih tepatnya karakteristik.

 

Bahwasanya,

 

“Jika bertemu jalan turunan, kemudian melintasi jembatan, dan di bawah jembatan itu ada sungai, maka hampir bisa dipastikan setelah melewati jembatan wujud jalannya adalah TANJAKAN!

 

#menghela.napas.panjang

#bersabar

 

foto pria botak bersepeda nanjak lewat jalan suroloyo

 

Dan betul, di ujung jalan turunan itu kami bertemu jembatan kecil. Di bawah jembatan kecil mengalir sungai kecil. Kemudian medan jalan setelahnya adalah... TAN – JA – KAN....

 

Guna menghadapi ujian dari Tuhan yang nggak seberat Ujian Nasional itu aku pun menggunakan gir depan dan gir belakang yang ukurannya terbesar. Setelan umum yang konon memudahkan pesepeda untuk melintasi tanjakan yang kurang terbilang jahanam.

 

Saat aku sedang kepayahan menanjak, Mbah Gundul yang dari tadi selalu berada di posisi terdepan tiba-tiba menyeru,

 

“Wis! Ono curug kuwi! Mampir ora!?” [5]

 

[5] Wis! Ada curug itu! Mampir nggak!?

 

foto papan arah curug watu jengger suroloyo

 

Hah!?

 

Curug!? Air terjun!? Dekat Puncak Suroloyo ada air terjun!?

 

Jaraknya (cuma) 300 meter!?

 

...

 

“MAMPIR SIK MBAH!” [6] Aku berteriak memberi instruksi.

 

[6] MAMPIR DULU MBAH!

 

Lha!? Kok Tebih Sanget!?

Dalam visualisasi di benakku, jarak 300 meter menuju Curug Watu Jengger itu jelas sangat lebih dekat dibandingkan jarak rumah – Pasar Kranggan yang biasa aku tempuh pas belanja ransumnya para pasukan berkumis.

 

Jadi, ya kenapa harus ragu buat mampir ke curug?

 

Terlebih lagi jika mengingat-ngingat betapa jauhnya perjalanan kami bersepeda sampai ke ruas jalan Perbukitan Menoreh ini. Dari Kota Jogja kami menyusuri Selokan Mataram ke arah barat, tembus di Jl. Raya Kalibawang – Magelang. Setelah melewati Rest Area Pasar Bendo barulah mengambil cabang jalan yang arahnya ke Puncak Suroloyo .

 

Kalau di Google Maps sih total jaraknya sekitar 30,6 km. Lumayan jauh juga ya?

 

foto peta curug watu jengger samigaluh

 

Medan jalan sejauh 300 meter menuju Curug Watu Jengger masih didominasi turunan dan tanjakan sesuai dengan “teori” yang aku paparkan di atas itu. Akan tetapi, perjuangan menempuh medan yang menguras tenaga itu menjadi ringan akibat keberadaan belik (mata air kecil) di pinggir jalan.

 

Sebagaimana kebiasaan yang sudah lama ditularkan Mbah Gundul, kami pun berhenti sejenak di belik itu. Sejuknya air belik yang menetes dari celah-celah bebatuan membuat kami tergoda untuk membasuh tangan dan wajah. Aku ya sempat tergoda juga buat meminum air belik. Pasti rasanya dingin dan segar. 

 

Tapi... mengingat daya tahan perut di usia kepala tiga yang sudah sering bermasalah... hmmm... mending minum air mineral kemasan saja deh! Jaga-jaga, daripada nanti sakit perut. Rumah masih jauh pula. 

 

foto belik mata air dekat curug watu jengger samigaluh

 

Memasuki kawasan wisata Curug Watu Jengger, terdapat penampakan gapura, loket tiket, dan warung. Dari spanduk yang tertempel di tiang gapura, curug ini ternyata baru di-launching akhir November 2016 silam toh.

 

Loket tiket terlihat tutup. Pun nggak terlihat ada penjaga di dekat situ. Dengan begitu aku kira bisa gratis melenggang masuk. Eh, jebul ternyata setelah melewati gapura, muncullah seorang ibu-ibu yang lalu memungut tiket masuk, hahaha.

 

Tiket masuknya murah sih, Rp2.000 per orang. Sepeda sendiri nggak dipungut tiket masuk alias gratis. #seneng.banget

 

foto gerbang masuk wisata curug watu jengger samigaluh kulon progo yogyakarta

 

Pas mencermati teks yang tertera di tiket masuk itu aku mengernyitkan dahi. Di sana tertulis tempat di mana Curug Watu Jengger ini berada yakni di Dusun Madigondo, Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.

 

“Lho Bu? Niki niku melebet Sidoharjo toh Bu?” [7] tanyaku ke ibu yang memungut tiket masuk.

“Nggih Mas, lha pripun?” [8] Si ibu balik bertanya.

 

“Lha, sak ngertose kula Sidoharjo niku gereja mBoro minggah niku Bu. Ingkang wonten curug e niku.” [9]

“Curug perawan niku toh? Niku nggih Sidoharjo Mas. Kantor desane nggih cerak meriko niku.” [10]

 

“Lha!? Kok tebih sanget!? Lha menawi njenengan ajeng teng kantor desa nggih mesti mbelah gunung toh Bu!?” [11]

“Lha nggih Mas. Ajeng pripun malih? Hehehe.” [12]

 

[7] Lho Bu? Ini itu masuk Sidoharjo toh Bu?

[8] Iya Mas, lha gimana?

[9] Lha, sepengetahuan saya Sidoharjo itu ya mBoro nanjak itu Bu. Yang ada curugnya itu.

[10] Curug perawan itu toh? Itu ya Sidoharjo Mas. Kantor desanya ya dekat situ itu.

[11] Lha!? Kok jauh sekali!? Lha kalau anda mau berkunjung ke kantor desa ya harus membelah gunung toh Bu!?

[12] Lha iya Mas. Mau bagaimana lagi? Hehehe.

 

foto jalan kampung menuju curug watu jengger samigaluh kulon progo yogyakarta

 

Kesimpulannya, wilayah Desa Sidoharjo ternyata luas banget! Karena lokasinya berada di Perbukitan Menoreh, jadi lokasi dusun-dusunnya itu terpisahkan bukit dan hutan.

 

Wah, betul-betul tabah sekali orang-orang yang hidup di tempat seperti ini. Ke kantor desa saja jaraknya lumayan jauh. Itu baru kantor desa lho! Belum ke tempat-tempat seperti pasar, puskesmas, sekolah, dan lain sebagainya.

 

Subhanallah sekali warga Dusun Madigondo ini ya? #salut

 

Wah! Kayane Enak Kekeceh nang Kedung!

Tak perlu waktu lama. Kurang dari lima menit menuntun sepeda dari lokasi parkir resmi, eloknya pemandangan Curug Watu Jengger tersaji di depan mata.

 

Subhanallah!

 

Eh, di paragraf atas itu tadi aku menyebut lokasi parkir resmi karena ya tempat parkir resmi Curug Watu Jengger itu berada di halaman rumah Ibu yang memungut tiket masuk. Sedangkan karena sepeda boleh dibawa mendekat ke curug jadinya ini parkir yang nggak resmi deh, hehehe.

 

Lagipula nggak ada orang yang bakal protes ini kok! Toh, pengunjung Curug Watu Jengger pada siang hari itu cuma kami berdua thok.

 

foto pemandangan indah curug watu jengger kulon progo

 

Hal pertama yang terbesit di otak ketika melihat pemandangan Curug Watu Jengger seperti foto di atas adalah,

 

“Wah! Kayane enak kekeceh nang kedung!” [13]

 

[13] Wah! Sepertinya enak main air di kedung!

 

 

Aku pun menyenderkan Trek-Lala di seonggok batu kali berukuran besar. Tanpa berlama-lama aku lalu membenamkan kedua kaki ke air sekaligus membasuh muka dengan air curug yang tertampung di kedung yang lumayan luas.

 

Ya Allah! Alhamdulillah! Seger banget!

 

Selain kedung Curug Watu Jengger, di lokasi juga terdapat dua kedung lain yaitu Kedung Dempet dan Kedung Gupit. Keduanya juga bisa dimanfaatkan sebagai lokasi bermain air. Hanya saja menurutku lebih asyik bermain airnya di kedung utama karena ya lebih luas.

 

foto cowok duduk di curug watu jengger samigaluh

 

Seandainya aku bawa pakaian ganti dan nggak dalam rangka bersepeda ke Puncak Suroloyo sekaligus nggak perlu bersusah-payah buat pulang ke rumah #kebanyakan.berandai.andai mungkin aku sudah nyebur dan bermain air di kedung Curug Watu Jengger yang berkedalaman empat meter ini.

 

Sayangnya... masih ada sekitar 5 km (tanjakan) lagi sebelum misi bersepeda PEKOK pada hari ini dinyatakan selesai, gyahahaha.

 

Oleh sebab itu, Trek-Lala sajalah yang aku mandikan dengan air Curug Watu Jengger. Biar ceritanya seperti ritual jamasan benda pusaka, hehehe .

 

Trek-Lala kan hitungannya sudah termasuk benda pusaka. Dia kan sudah berjasa besar mengantarkan aku bersepeda blusukan sampai ke mana-mana sejak bertahun-tahun yang lalu, hihihi.

 

Eh, tapi sebetulnya ritual jamasan itu kan lazimnya dilakukan pas bulan Suro (Muharam) ya? Sementara pertengahan Mei 2017 ini kan masih masuk bulan Ruwah (Syakban).

 

Jadi, barangkali lebih tepatnya Trek-Lala padusan menyambut bulan suci Ramadan ya? Walaupun lagi-lagi, ritual padusan kan mestinya sehari sebelum Ramadan toh?

 

foto cowok menyuci sepeda di curug watu jengger samigaluh kulon progo yogyakarta

 

Ah yo wis lah! Pokoknya intinya mencuci Trek-Lala pakai air Curug Watu Jengger!

 

Minimal bekas lumpur yang nempel di frame hilang dan bikin Trek-Lala terlihat lebih kinclong. Walaupun ya... oli di rantai sepeda juga ikut hilang sih, gyahahaha!

 

Ayo Mbah! Wis Ready iki!

 

Berdasarkan pengalaman singgah di kawasan Curug Watu Jengger selama 40 menit, aku merasa bahagia bisa berada di sini. #jujur

 

Menurutku, Curug Watu Jengger adalah lokasi yang nyaman untuk bersantai. Suasananya sangat mendukung. Semilir angin Perbukitan Menoreh, gemerisik rumpun bambu, alunan melodi serangga hutan, serta keramahan warga Dusun Madigondo seakan membuat betah siapa pun yang singgah di sini.

 

Taman di kawasan Curug Watu Jengger pun sudah tertata apik. Banyak tanaman hias ditanam di sana-sini. Salah satu tanaman hias yang ada adalah terompet dewa yang katanya Mbah Gundul apabila bunganya dihirup nanti bisa bikin mabuk. #belum.praktek

 

foto taman cantik curug watu jengger samigaluh kulon progo yogyakarta

 

Untuk fasilitas yang tersedia menurutku belum komplit. Sebagai contoh, tempat untuk beristirahat semacam gubuk/gazebo masih dalam proses pembangunan.

 

Meskipun demikian, di sekitar Curug Watu Jengger aku melihat adanya bangunan warung kopi (kebetulan pas itu tutup ) dan toilet (lumayan nyaman untuk ngendog ). Ada pula tempat penyewaan ban demi memfasilitasi pengunjung yang kurang mahir berenang.

 

Singkat kata, Curug Watu Jengger adalah tempat yang cocok untuk beristirahat dalam dekapan alam nan asri di tengah perjalanan menuju Puncak Suroloyo.

 

foto toilet bersih di lokasi wisata curug watu jengger samigaluh kulon progo yogyakarta

 

Salah satu hal yang bagi Mbah Gundul agak kurang pas dari Curug Watu Jengger adalah pembuatan tanggul untuk membendung kedung yang terlihat kurang alami. Mbah Gundul menyayangkan, mengapa tanggulnya nggak dibuat dari batu kali yang disusun saja? Kok malah disemen dan diberi pipa pralon?

 

Sedangkan bagiku, yang agak kurang sip dari Curug Watu Jengger ini adalah lokasinya, hahaha . Selain jauh dari Kota Jogja, medan jalan menuju ke mari yang diwarnai banyak tanjakan itu sepertinya membutuhkan kondisi mesin kendaraan yang sehat. Khususnya bagi kendaraan roda empat.

 

foto curug watu jengger samigaluh dari jauh

 

Alhamdulillah, sepeda yang kami tunggangi sehat wal alfiat dipakai nanjak sampai ke sini. Kendalanya ya... mungkin hanya mulutku yang sering “korslet” begitu melihat jalan menanjak yang disinari terik matahari, hahaha.

 

Tapi tenang! Tadi kan Trek-Lala sudah aku jamas di kedung Curug Watu Jengger. Alhasil, dengan pede-nya aku berujar ke Mbah Gundul,

 

“Ayo Mbah! Wis ready iki! Pitku wis tak jamas mau, siap dinggo...” [14]

 

Aku berpikir sejenak sebelum melanjutkan ngoceh,

 

“... dinggo bali nang Yojo!” [15]

 

[14] Ayo Mbah! Sudah siap ini! Sepedaku sudah aku jamas tadi, siap untuk dipakai...

[15] ... dipakai pulang ke Jogja!

 

foto berfoto dengan sepeda di curug watu jengger kulon progo

 

Kami berdua pun terkekeh. Jam menunjukkan pukul dua belas siang kurang lima belas menit. Puncak Suroloyo masih menanjak sekitar lima kilometer lagi... panas pula....

 

AYO SEMANGAT!


NIMBRUNG DI SINI

UPS! Anda harus mengaktifkan Javascript untuk bisa mengirim komentar!
  • ADIE RIYANTO
    avatar komentator ke-0
    ADIE RIYANTO #Selasa, 10 Jul 2018, 13:33 WIB
    Padahal cuma air merambat gini aja udah jadi objek wisata ya. Saking kreatifnya orang-orang zaman now.



    Aku justru fokus ke jalur sepedanya. Lebaran kemarin sempat pulang ke Nganjuk dan sepedaan. Untung jalurnya gak seekstrim ini.



    Soalnya agak trauma sepedaan kalau jalurnya naik turun. Selangkanganku pernah nyeri. Jadi, lebih suka ke lari sekarang. :)
    Pas puncak musim penghujan, sepertinya debit airnya bakal lebih besar Bro. Jadinya, nggak mirip air merambat lagi, hehehe. Kalau habis cidera sebaiknya memang nyepedanya jangan yang jalur-jalur ekstrem dulu. Yang datar-datar saja.
  • EM
    avatar komentator ke-1
    EM #Minggu, 27 Mei 2018, 09:51 WIB
    Review tempat di Maps udah bukan jamannya :D

    Mlipir Watu Tekek juga ga Wij?
    Lagi ngerti malah aku Watu Tekek.