Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Untuk yang kesekian kalinya aku kembali singgah di gubuk yang dikerumuni tetumbuhan lebat.
Untuk yang kesekian kalinya aku menanti sang empunya rumah hilir-mudik ke sana ke mari.
Untuk yang kesekian kalinya aku melontarkan pertanyaan yang mungkin ia sudah jemu mendengar apalagi menjawabnya.
“Mbah! Konco-koncomu wis podo rabi. Piye iki?” [1] tanyaku sambil mencermati lembar kertas undangan seorang kawan di atas meja.
“Yo ora piye-piye,” [2] jawab Mbah Gundul sambil menuangkan voer ke mangkuk di dalam sangkar burung.
“Yo mosok konco-koncomu podo mati, kowe yo melu kepingin mati?” [3] tanyanya balik.
[1] Mbah, teman-temanmu sudah pada menikah. Gimana ini?
[2] Ya nggak gimana-gimana.
[3] Ya masak teman-temanmu pada mati kamu ya jadi ikut kepingin mati?
Hmmm....
Aku merenung beberapa saat sebelum balik bertanya, “Nek aku rabi piye Mbah?” [4]
Tanpa berpaling ke arahku Mbah Gundul menjawab, “Yo karepmu. Emange wis nduwe (calon)?” [5]
Pertanyaan Mbah Gundul yang terakhir itu aku balas dengan cekikikan dan raut wajah mesam-mesem.
[4] Kalau aku menikah gimana Mbah?
[5] Ya terserah kamu. Memangnya sudah punya calon?
Obrolan di atas itu terjadi pada hari Sabtu pagi (22/4/2017) saat aku sedang menunggu Mbah Gundul bersiap-siap bersepeda. Hari ini rencananya aku bakal bersepeda sama Mbah Gundul. Terakhir kali kami bersepeda bareng pas acara kuliner di Candi Sojiwan beberapa bulan yang lalu.
Tentang agenda bersepeda pada hari Sabtu pagi ini, sebenarnya aturannya gampang dan sederhana banget.
“Bersepedalah selama masih punya kesempatan untuk bersepeda.”
Entah apakah itu hanya beberapa meter ataukah berkilo-kilo meter.
Entah apakah itu hanya beberapa menit ataukah berjam-jam lamanya.
Entah apakah itu hanya beberapa kali dalam seminggu ataukah beberapa kali dalam setahun.
Yang jelas, nikmatilah saat-saat di mana kamu bersepeda. Sehingga, ketika kamu sedang tidak bisa bersepeda, kamu bisa tersenyum mengingat betapa menyenangkannya bersepeda itu.
Sederhana toh?
Misi Lain Setelah Sampai Candi Banyunibo
Rute bersepeda pada pagi hari ini juga bisa dibilang "sederhana". Hanya ke Tebing Breksi yang kini tak ubahnya magnet pariwisata di Kabupaten Sleman. Suatu tempat di Yogyakarta yang sudah berkali-kali kami kunjungi sejak bertahun-tahun lamanya.
Bedanya, kali ini Mbah Gundul mengajak bersepeda ke Tebing Breksi lewat Banyunibo. Yang dimaksud Banyunibo nggak lain adalah Candi Banyunibo yang terletak di Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Sepengetahuanku, di dekat-dekat Candi Banyunibo nggak ada tuh jalan besar yang tembus ke lokasi lain. Yang ada paling ya hanya jalan kecil. Misalnya, jalan kecil alternatif dari Candi Banyunibo ke Candi Barong yang lumayan "menguji kesabaran" itu.
Jadi, kalau bisa ke Tebing Breksi lewat Candi Banyunibo itu berarti ada jalan baru dan patut dijajal dengan bersepeda, hahaha.
Kami berangkat dari Joglo Pit sekitar pukul setengah tujuh pagi. Mbah Gundul sebagai juru pandu memilih rute blusukan lewat jalan desa. Kami sempat berhenti sebentar di muka Pasar Tanjungtirto untuk membeli kue pukis (ini bekal wajib! ) serta beragam jajanan pasar.
Selepas dari Pasar Tanjungtirto kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan desa yang diapit oleh hamparan ladang dan sawah. Jalan ini nantinya bermuara di ruas Jalan Raya Prambanan – Piyungan.
Sesuai panduan rute yang sudah hapal di luar kepala, di ruas jalan raya ini kami berbelok di pertigaan yang mengarah ke Keraton Ratu Boko. Pertigaan ini juga sekaligus merupakan cabang jalan ke Candi Banyunibo.
Oleh sebab pemandangan hamparan padi yang menguning di sepanjang jalan amat sangat menyejukkan mata, jadilah kami menyempatkan diri berhenti sejenak menikmati pemandangan sambil menyantap sejumput kue pukis. Berfoto-foto ria dengan pemandangan indah ini jelas nggak boleh terlewatkan.
Kami tiba dengan selamat di Candi Banyunibo sekitar pukul delapan pagi. Sebagaimana umumnya kelakuan para pesepeda yang sebatas "numpang lewat", kami pun hanya melewatkan waktu dengan nongkrong-nongkrong di luar situs Candi Banyunibo.
Untunglah sekarang kawasan di sekitar Candi Banyunibo sudah tertata apik. Semak-belukar yang dahulu rimbun dan lebat kini telah bersih disiangi. Saung bambu pun berdiri di luar kawasan situs. Cocoklah sebagai tempat ngaso bagi pesepeda kere macam kami ini.
“Sik! Aku meh nelpon! Kowe meneng o sik!” [6] seru Mbah Gundul saat aku mulai mengambil ancang-ancang untuk curhat perihal prahara cinta. #halah
Tuut... Tuut... Tuut...
Terdengar alunan nada panggil yang tak kunjung diangkat oleh sisi seberang.
“Kok ora diangkat yo?” [7] tanya Mbah Gundul kebingungan.
“Gek-gek wong e nembe ngendog Mbah!?” [8] jawabku asal.
[6] Sebentar! Aku mau menelpon! Kamu diam dulu!
[7] Kok nggak diangkat ya?
[8] Jangan-jangan orangnya lagi ngendog Mbah?
Ndilalah panggilan Mbah Gundul diangkat pada usahanya yang kedua. Dari speaker smartphone yang volumenya melantang keras itu aku menguping si Mbah bercakap-cakap dengan seorang pria. Ternyata oh ternyata, Mbah Gundul bermaksud bertamu ke kediaman pria yang bernama Suwanto.
“Suwanto ki sopo Mbah?” [9] tanyaku penasaran usai Mbah Gundul mengakhiri percakapannya.
“Juru kunci Candi Ijo,” jawab si Mbah.
Lho? Apa hubungannya juru kunci Candi Ijo dengan Candi Banyunibo?
Apa hubungannya pula dengan jalur bersepeda ke Tebing Breksi?
Yah, daripada bingung dan bengong, mending aku ngikut si Mbah Gundul sajalah.
[9] Suwanto itu siapa Mbah?
Sosok Pria yang Ditemui Mbah Gundul
Dari Candi Banyunibo kami lantas bersepeda masuk gapura Dusun Cepit. Jaraknya hanya beberapa puluh meter dari candi. Mbah Gundul tetap di depan sebagai penunjuk arah sementara aku tetap setia ngekor di belakang.
Setelah menyusuri jalan-jalan kampung kami berdua tiba di depan suatu rumah. Mbah Gundul kemudian menyapa sang pemilik. Kebetulan sang pemilik rumah sedang menjemur pakaian di luar pagar. Ternyata, beliau inilah yang bernama Pak Suwanto.
Ternyata oh ternyata lagi, Pak Suwanto ini adalah “pasien”-nya Mbah Gundul! Entah kapan mereka bertemu. Tapi seperti yang sudah-sudah, di sana Mbah Gundul lantas menggelar praktek pijat. Aku pun bersabar menunggu si Mbah selesai praktek dengan ditemani teh manis hangat dan setoples rengginang yang disuguhkan Bu Suwanto. #ngemil.time
“Bagaimana kabar kejantanannya?”
Pertanyaan Mbah Gundul ke Pak Suwanto itu mendadak bikin aku ingin menyemburkan air teh yang sedang kuminum. WEH! Sejak kapan si Mbah merambah ke domain pijat "sensitif" semacam ini!? #mesum
Tapi Alhamdulillah ternyata percakapan kami selanjutnya nggak bergulir ke seputar pijat wilayah selangkangan, hahaha.
Dalam obrolan, Pak Suwanto bercerita seputar tugasnya sebagai satpam Candi Ijo. Pernah pada suatu malam Candi Ijo didatangi rombongan berjumlah sekitar 25 orang. Mereka mengaku berasal dari Demak dan sengaja datang malam hari untuk “tirakat” di dalam candi.
Walaupun sekarang Candi Ijo semakin ramai pengunjung, sejumlah orang masih menganggap Candi Ijo sebagai tempat sakral. Pak Suwanto juga turut bercerita tentang hal-hal mistis seputar Candi Ijo terutama saat malam hari. Meskipun membuat bulu kuduk merinding, Pak Suwanto bilang pemandangan malam dari Candi Ijo cukup indah. Beliau malah sempat memberi tawaran.
“Kalau kebetulan saya pas jaga malam (di Candi Ijo) nanti mampir saja Mas. Belum pernah toh lihat langit penuh bintang dari candi?”
Weh... tawaran menarik ini Pak! Kalau begitu biar saya siap-siap mengumpulkan nyali dulu.
Eh, masih cerita seputar hal-hal mistis. Pak Suwanto kaget dengan cerita blusukan-ku yang mana pernah menyambangi Grojogan Tritis pada tahun 2013 silam.
“Tritis itu terkenal angker lho Mas! Banyak warga yang pernah cerita bertemu siluman ular sama macan di sana!”
WEDALAH!
Seandainya dulu tahu info yang semacam itu, mungkin kami bakal mikir dua kali untuk menyambangi Grojogan Tritis. Apalagi buat merekam video Harlem Shake di sana.
SILAKAN DIBACA
Di Tengah Jalan Menuju Tebing Breksi
Kira-kira pukul sembilan lebih beberapa belas menit, Mbah Gundul pun menyudahi praktek pijatnya. Kami kemudian bersiap-siap melanjutkan bersepeda menuju TKP utama yakni jalan nanjak baru dari Candi Banyunibo yang tembus ke Tebing Breksi. Pak Suwanto berbaik hati mengantar kami ke lokasi.
Rute yang kami lalui menuju ke jalan nanjak baru itu serupa dengan rute yang dulu aku lalui pas ke Grojogan Tritis. Bedanya, kalau ke Grojogan Tritis mengambil cabang jalan ke arah kuburan, kalau ke jalan nanjak baru ini mengambil cabang jalan ke ladang tebu.
Aku sempat terkaget-kaget saat melihat wujud jalan beton yang membelah ladang tebu. Dulu pas tahun 2013 masih jalan tanah setapak kok pada tahun 2017 sudah mulus ya?
Kami berhenti sejenak seusai melintasi ladang tebu. Mbah Gundul memarkir sepedanya kemudian berjalan menuju sekumpulan pohon tebu yang batangnya menjulang tinggi.
“Ngopo e Mbah?” [10] tanyaku kepo.
“Nguyuh!” [11] jawab si Mbah singkat.
WEH! Ra kalap!
[10] Ngapain e Mbah?
[11] Kencing!
Sambil menanti si Mbah menuntaskan panggilan alam aku pun mengamati jalan menanjak yang tampak jelas di pelupuk mata. Seketika aku teringat dengan cerita Pak Suwanto ketika tadi sedang dipijat Mbah Gundul.
“Itu jalan yang baru jadinya Desember 2016 kemarin. Pas pengerjaannya mesin backhoe-nya sempat macet berminggu-minggu nggak bisa nyala. Mungkin karena diganggu sama penghuni-penghuni sana ya? Hahaha.”
Weh! Sudah jalannya nanjak, mistis pula! Sungguh pelik cobaan dunia ini!
Kami berpisah dengan Pak Suwanto di dasar tanjakan. Walaupun ya... Pak Suwanto nggak langsung pergi karena beliau masih penasaran dengan omongannya Mbah Gundul yang mampu bersepeda nanjak di tanjakan terjal itu tanpa menuntun sepeda.
“Ayo Mas! Mosok nuntun!? Nggak dapat keringat nanti!”
Terus terang, sahut-sahutan para kernet dan sopir truk kayu yang mendadak ikut nimbrung di dasar tanjakan serta-merta merobohkan konsentrasi nanjak yang sejak tadi aku pancangkan. Dalam hati aku pun hanya bisa membatin,
“KURANG AJYAAAR!”
Hahaha
Menurutku, jalan tanjakan baru ini ibarat ruas tanjakan curam ikonik Cinomati yang dipindah tempat. Panjangnya hampir sama, sekitar 200 meter. Sama-sama dikelilingi oleh pepohonan lebat. Sama-sama punya titik tercuram di mana pas lewat situ ban depan sepeda rawan ngangkat.
Aku lewat sana hanya bertahan mengayuh pedal di 3/4 jalan. Sisa 1/4 jalannya ya nuntun lah!
Sebodo amat itu sama teriakannya kernet dan sopir truk!
Selama menuntun sepeda masih halal dan nggak bakal bikin masuk penjara ya lakoni saja toh!? Wekekeke!
Medan jalan masih tetap menanjak seusai melewati jalan tanjakan baru. Untungnya sih kemiringan jalannya nggak securam tadi. Seenggaknya, di kanan-kiri jalan ada banyak rumah warga. Kalau mencermati nama yang tertera di gapura dan pos ronda, saat ini kami berada di Dusun Gunungsari di wilayah Desa Sambirejo.
Meskipun medan jalannya sudah mulai bersahabat, staminaku rasanya sudah hancur-hancuran. Kaki sih masih sanggup diajak mengayuh pedal. Hanya saja, jantungku sudah kepayahan. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.
DAG. DUG. DAG. DUG. DAG. DUG.
Kalau dipaksa untuk tetap bersepeda nanjak nanti malah bisa-bisa jantungku meledak! Hiii.... #amitamit
“Mbah! Sik Mbah! Leren sik Mbah!” [12]
Aku memacu Trek-Lala mendahului Mbah Gundul dan berhenti di pos ronda dekat perempatan jalan desa. Di pos ronda itu kebetulan terpajang jam dinding yang posisi jarum jamnya menunjukkan waktu pukul sepuluh siang kurang beberapa menit.
“Ojo lungguh! Tetep ngadeg! Nang plantangan pit wae! Sikil e ditekuk nang dinding. Menggah-menggeh sik sing okeh. Ombene diminum. Tasmu disilehke sik ben ora abot. Beban urip e yo podo disilehke sik,” [13] kata Mbah Gundul memberi petunjuk.
“Mosok ora oleh lungguh sih Mbah? Kesel aku!” [14] tanyaku mencoba menawar.
“Ojo sik! Mengko ndak kowe soyo pusing!” [15]
“Mung ngadeg wae aku tetep pusing e Mbah!” [16]
“Cubo tanganmu diangkat ditekuk nyekel gulumu. Piye? Pusing e soyo mari ora?” [17]
“Iyo e Mbah! Rodo berkurang pusing e.” [18]
[12] Mbah! Sebentar Mbah! Istirahat dulu Mbah!
[13] Jangan duduk! Tetap berdiri! Di plantangan sepeda saja! Kakinya ditekuk di dinding. Tarik-keluar napas dulu yang banyak. Minumannya diminum. Tasmu diturunkan dulu supaya nggak berat. Beban hidupnya juga diturunkan dulu.
[14] Masak nggak boleh duduk sih Mbah? Capek aku!
[15] Jangan dulu! Nanti kamu malah tambah pusing!
[16] Tapi aku berdiri saja tetap pusing e Mbah!
[17] Coba tanganmu diangkat ditekuk megang lehermu. Gimana? Pusingnya makin membaik nggak?
[18] Iya e Mbah! Sedikit berkurang pusingnya.
Kira-kira ada lima belas menit kami beristirahat di pos ronda sampai jantungku berhenti berdegup kencang dan kepalaku nggak lagi pusing. Setelah aku merasa lebih baikan, kami pun melanjutkan perjalanan.
“Iki lurus yo!” [19] seru Mbah Gundul begitu kami hendak meninggalkan pos ronda.
“Lurus dalan iki toh Mbah?” [20] aku menujuk jalan aspal mulus yang dahulu sering kami lalui bila hendak ke Tebing Breksi.
“Udu kae! Dalan sing iki!” [21] Mbah Gundul melaju dengan sepedanya di cabang jalan sebelah pos ronda.
[19] Ini lurus ya!
[20] Lurus jalan yang ini toh Mbah?
[21] Bukan itu! Jalan yang ini!
ALAMAAAK!
Nanjaaaak lagi!
Hadeh....
Misi Bersepeda Masih Berlanjut
Alhamdulillah! Hanya berselang nanjak beberapa menit dari pos ronda, kami pun akhirnya tiba di Tebing Breksi! Tentu tibanya di “jalur belakang” dong!
Kami pun menepi beristirahat bawah pohon yang bisa dianggap rindang . Sembari meneguk air minum yang kian menipis berkeluh-kesahlah aku ke Mbah Gundul.
“Jaman mbiyen koyone ngepit munggah e ora seabot iki Mbah. Soyo suwi ki urip soyo abot. Sing mbiyen keroso enteng, saiki keroso abot.” [22]
“Ah, jare sopo? Jaremu kuwi!” [23] sanggah Mbah Gundul.
Mbah Gundul pun melanjutkan ucapannya, “Urip ki soyo suwi mestine koyo kambil ijo. Okeh santen e. Lha kowe, malah koyo cumplung!” [24]
“Cumplung ki opo Mbah?” [25] tanyaku bingung.
“Cumplung ki kambil sing dadi panganane bajing.” [26]
Wedalah...
[22] Zaman dulu kayaknya bersepeda nanjaknya nggak seberat ini Mbah. Semakin lama hidup itu semakin berat. Yang dulu terasa enteng sekarang terasa berat.
[23] Ah, katanya siapa? Katamu saja itu!
[24] Hidup ini semakin lama harusnya seperti kelapa hijau. Banyak santannya. Lha kamu, malah seperti cumplung!
[25] Cumplung itu apa Mbah?
[26] Cumplung itu kelapa yang jadi makanannya bajing.
Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Matahari sedang panas-panasnya. Benar-benar kondisi yang membuat malas bersepeda.
“Piye? Sido lanjut? Isih kuat ora?” [27] tanya Mbah Gundul.
“Sido lah Mbah! Kuat aku! Pikirmu awak e dewe wis ping piro ngepit nang Candi Ijo?” [28] jawabku sambil menguyah kue pukis terakhir.
[27] Gimana? Jadi lanjut? Masih kuat nggak?
[28] Jadi lah Mbah! Kuat aku! Pikirmu kita ini sudah berapa kali bersepeda ke Candi Ijo?
Yups! Misi bersepeda pada hari Sabtu ini aku extend sampai ke Candi Ijo, gyahahaha!
Habisnya nanggung banget. Sudah sampai ke Tebing Breksi tapi nggak ke Candi Ijo itu ibarat ngendog tanpa nguyuh.
Apalagi medan tanjakan ke Candi Ijo selepas Tebing Breksi itu dalam ingatanku nggak jahanam banget . Terutama juga karena jalan aspal ke Candi Ijo sekarang sudah mulus halus. Beda dengan kondisi bertahun-tahun silam yang aspalnya banyak bolong-bolongnya.
Alhamdulillah, akhirnya pada pukul dua belas siang lebih sekian menit kami sampai juga di Candi Ijo!
Inilah ringkasan rute bersepeda hari ini ke Tebing Breksi via jalan tanjakan baru dekat Candi Banyunibo dan dilanjut nanjak “sedikit” ke Candi Ijo.
Tapi, misi bersepeda hari ini belum berakhir!
Masih ada satu tujuan lagi yang hanya si Mbah Gundul yang paham lokasinya.
Yang penting istirahat dulu deh.
Aku nulis artikel ini juga capek, hahaha.
NIMBRUNG DI SINI
Eh kata Radith wes rabi yo? Selamat ya mas
Aku belum rabii yoooo...