Apakah kamu ingat saat kita pertama kali berjumpa?
Saat kita masih sama-sama lugu?
Saat kita sama-sama nggak tahu apa-apa?
Saat kita menjalaninya dengan penuh canda dan tawa?
Ingatkah kamu akan masa-masa itu?
Kalau tidak, semoga kiranya tulisan ini bisa membuatmu kembali mengingat akan sebuah tempat penuh kenangan yang bernama Lemah Abang.
Apa itu Lemah Abang?
Lemah Abang merupakan frase dalam bahasa Jawa yang memiliki arti tanah merah. Lemah itu tanah. Sedangkan abang itu merah.
Meskipun memiliki arti yang sama, jangan samakan tempat di Yogyakarta ini dengan Tanah Abang di Jakarta sana. Tempat ini bukan kawasan pusat perbelanjaan melainkan suatu dusun di wilayah Desa Gayamharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Dusun Lemah Abang terletak di lereng pegunungan karst yang kelak menyambung dengan geopark Gunung Sewu. Bila dilirik dari Kota Jogja dusun ini terbilang cukup terpelosok. Walau demikian, ada dua hal yang menyebabkan Dusun Lemah Abang lumayan populer, yaitu air terjun Jurug Gedhe dan jembatan gantung.
Buatku, jembatan gantung adalah suatu struktur yang unik dan menarik. Di Yogyakarta keberadaan jembatan gantung boleh dibilang langka. Adanya hanya di desa-desa. Itupun kini jumlahnya sudah semakin menyusut.
Jembatan gantung Lemah Abang pun bernasib sama. Saat ini ia sudah tergantikan dengan jembatan gelagar yang lebih besar dan kokoh. Yang tersisa hanyalah seonggok kenangan dari beberapa tahun silam...
Menuju ke Lemah Abang via Tanjakan Petir
Karena penasaran dengan wujud jembatan baru Lemah Abang, aku bersepeda ke sana pada hari Minggu pagi (12/11/2017). Aku memilih rute melalui Desa Ngoro-oro via Tanjakan Petir. Rute ini merupakan rute pintas ke kawasan wisata Nglanggeran tanpa harus melewati Tanjakan Bukit Bintang di ruas Jl. Raya Yogyakarta – Wonosari.
Sebetulnya, ada pilihan rute lain yang lebih singkat yaitu melewati Dusun Klegung. Hanya saja, tanjakan Dusun Klegung sangat-amat-lebih terjal. Kendaraan yang bisa lewat hanya roda dua. Itupun karena saking terjalnya, sebagian besar harus dituntun.
Aku berangkat dari rumah sekitar pukul enam pagi. Dari rumah aku mengarah ke perempatan Blok O kemudian menyusuri Jl. Raya Berbah hingga sampai di ruas Jl. Raya Prambanan – Piyungan. Dari sana aku berbelok mengambil cabang jalan di dekat Balai Desa Srimartani, melewati Pasar Desa Srimartani, dan akhirnya sampai di dasar Tanjakan Petir.
Tanjakan Petir rupanya masih sama beringasnya seperti lima tahun silam. Tanjakan terjal yang lumayan panjang memberi sambutan panas di awal. Setelah itu pelan-pelan kemiringannya melandai. Akan tetapi, niat untuk sama sekali nggak pernah menuntun Trek-Lala terpaksa kandas tatkala tanjakan terjal yang panjang nan berliku kembali menyambut selepas melewati musala.
Cerita lengkap tentang pengalaman melewati Tanjakan Petir lima tahun silam bisa Pembaca simak pada artikel di bawah ini.
SILAKAN DIBACA
Sarapan Dulu Sebelum ke Lemah Abang
Sekitar pukul delapan kurang beberapa menit akhirnya aku tiba di puncak Tanjakan Petir yang letaknya nggak begitu jauh dari Kantor Desa Ngoro-oro. Aku hitung-hitung, perjalanan melintasi Tanjakan Petir ini menghabiskan waktu sekitar 58 menit. Padahal, panjang tanjakannya paling hanya sekitar 2,5 kilometer.
Sebelum menuju ke jembatan baru Lemah Abang aku memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu. Pikirku, Desa Ngoro-oro ini kan gerbang masuk ke kawasan wisata Nglanggeran. Pastinya nggak susah dong mencari warung makanan di sekitar sini. Ya nggak?
Eh, ternyata sulit banget menemukan warung makan yang buka! Padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Jangan-jangan, warung makan di Desa Ngoro-oro ini baru buka pas mepet waktu zuhur?
Tapi akhirnya aku ketemu juga sama satu warung makan yang buka. Letak warungnya di dekat sawah yang ada batu besar. Arahnya sebelum tikungan menanjak ke parkiran gunung api purba.
Aku sarapan sepiring nasi uduk ditambah sepotong tempe bacem. Minumnya segelas teh manis hangat. Keseluruhannya dihargai Rp9.500.
Kebetulan pada waktu itu di kawasan Nglanggeran sedang musim panen durian. Jadi, si Ibu pemilik warung makan juga menjual durian yang beliau peroleh dari pohon-pohon rumah tetangga. Satu durian berukuran sedang dijualnya seharga Rp35.000.
Katanya si Ibu, kalau durian-durian ini disantap sendiri nanti malah jadi penyakit. Alhasil, mending duriannya dijual saja dan uang hasil penjualannya bisa dipakai untuk membeli rabuk.
Wujud Jalan Baru ke Lemah Abang
Akhirnya, saat-saat yang ditunggu-tunggu datang juga.
Sekitar pukul sembilan pagi aku berpamitan dengan Ibu warung makan untuk menjamah ruas jalan baru yang mengarah ke jembatan baru Lemah Abang. Cabang ruas jalan ini terletak di perempatan yang pasti dilewati oleh setiap wisatawan yang hendak singgah di kawasan Nglanggeran dari arah perempatan Pos PJR Patuk.
Jikalau mencermati papan proyek, ruas jalan baru ini adalah bagian dari proyek penataan kawasan budaya pendukung keistimewaan. Proyek ini digarap oleh PT. Aneka Dharma Persada. Waktu pelaksanaannya 285 hari kerja. Kontrak kerjanya dimulai tanggal 6 Februari 2017 dengan nilai kontrak sebesar Rp58,34 milyar.
Kenangan lama yang terekam pada musim kemarau tahun 2012 silam terbongkar tatkala aku memulai perjalanan melintasi jalan baru ini. Dulu, jalan aspal ini masih sempit. Di kanan-kirinya penuh pohon-pohon.
Kalau sekarang jelas jalannya sudah lebar dan bagus. Pemandangan pun menjadi lebih lapang karena sudah bersih dari pohon. Ladang-ladang warga serta bukit-bukit karst tampak serasi menghiasi pemandangan.
Masih dalam suasana takjub menatap pemandangan jalan yang tampak lebih elok, aku disambut oleh penampakan rambu kuning yang senantiasa kufavoritkan . Di depan rambu adalah jalan menurun yang berliku. Aku agak lupa-lupa ingat apa dahulu jalannya ya memang menurun seperti ini. Yang jelas, aku ingat bahwa nanti ada jalan menurun yang sangat terjal.
Di tengah keasyikan menikmati jalan turunan, lagi-lagi aku dikagetkan oleh pemandangan yang menakjubkan. Di pinggir jalan menurun yang berkelok ini ada tebing karst yang besar dan tingiiii sekali. Tebing ini memikat para pelintas jalan untuk berhenti dan berfoto-foto.
Seingatku, dulu tebing karst tinggi ini nggak ada. Tebing karst ini terbentuk karena adanya proyek pembangunan jalan baru. Bisa dibayangkan seberapa besar bukit karst yang dibelah sehingga membentuk tebing setinggi ini.
Tapi harus diperhatikan bahwa tebing karst ini rawan longsor! Pada saat mendekat ke tebing aku mengamati ada banyak batu-batu kecil yang berjatuhan. Seakan-akan setiap ada angin yang bertiup atau kendaraan yang melintas batu-batu di tebing karst ini berjatuhan.
Yah, semoga saat hujan besar tebing ini nggak longsor parah. Aamiin.
Untuk melihat foto berukuran besar klik di sini.
Di lokasi tebing karst ini aku bersua dengan Safira. Ia adalah seorang pelajar SMK yang pada pagi itu memilih ruas jalan baru ini sebagai lokasi olahraga lari. Melihatku menenteng DSLR, dirinya tanpa malu-malu meminta untuk difoto.
Dari obrolan singkat, ternyata Safira ini tinggal di dekat objek wisata Green Village Gedangsari. WOW! Lumayan jauh lho dari sini!
Aku pikir dia berlari dari Gedangsari ke ruas jalan baru ini. Tapi ternyata, dia diantar naik sepeda motor oleh kawannya. #oh.ternyata
Setelah berpisah dengan Safira aku melanjutkan perjalanan menuju jembatan baru Lemah Abang. Di tengah jalan ini mendadak aku teringat kepada suatu objek menarik yang dahulu terletak di pinggir jalan. Objek tersebut adalah Situs Watu Gajah yang keberadaannya ditandai oleh dua pohon randu alas.
Syukur Alhamdulillah proyek pembangunan jalan baru ini nggak menghilangkan Situs Watu Gajah maupun dua pohon randu alas. Akan tetapi, aku jadi terkaget-kaget begitu mengetahui bahwa kini Situs Watu Gajah dan kedua pohon randu alas terletak di puncak tebing!
Wew..., berarti tanah yang dikeruk pada proyek pembangunan jalan baru ini lumayan dalam juga ya?
Untuk Pembaca yang penasaran dengan Situs Watu Gajah bisa membaca artikelku berikut ini.
SILAKAN DIBACA
Batu gajahnya terlihat kecil karena sudut pengambilan foto.
Selain batu yang berwujud unik, kenanganku terhadap Situs Watu Gajah terpatri kuat oleh keberadaan gapura Dukuh Gembyong yang terletak di dekat sana. Gapura Dukuh Gembyong yang masih tersisa (separuh ) itu membuatku teringat akan suatu momen pada tahun 2012 silam. Di dekat gapura ini aku sempat mewanti-wanti Pakdhe Timin,
“Dhe, siap-siap habis ini jalannya menurun terjal lho!”
Aku ingat betul bahwa selepas melewati gapura Dukuh Gembyong ini kontur jalan berubah menjadi turunan yang sangat terjal. Saking terjalnya sepeda bisa meluncur cepat walaupun kedua roda sudah direm. Bahkan sampai sekarang ujaran sejumlah kawan pesepeda tentang turunan terjal tersebut masih terngiang di benakku,
“Wih! Velg rodaku panas!”
“Baunya! Kampas remku gosong!”
Saat ini, turunan terjal yang sangat fenomenal itu rupanya sudah dijinakkan. Kemiringannya tak lagi curam. Sensasi bersepeda di turunan ini sudah nggak semenegangkan dulu.
Rambu kuning sebagai peringatan jalan menurun berada sekitar 300 ratus meter setelah melewati sisa gapura Dukuh Gembyong. Rambu ini terletak di dekat pertigaan kecil yang merupakan cabang jalan menuju turunan/tanjakan Dusun Klegung.
Pada awalnya, aku kira selepas rambu ini masih tersisa ruas turunan yang sangat terjal itu. Tapi ternyata nggak! Secara umum, saat ini tidak ada yang perlu ditakuti dari turunan menuju jembatan Lemah Abang dari arah Patuk.
Pemandangan di ruas jalan turunan ini pun lagi-lagi menakjubkan yakni dihiasi oleh tebing karst yang menjulang tinggi. Jadi, sepanjang ruas jalan ini ada dua tebing karst yang sama-sama terbentuk sebagai akibat dari proyek pembangunan jalan.
Untuk melihat foto berukuran besar klik di sini.
Akhirnya, setelah melewati tebing karst di atas tibalah aku di lokasi yang menjadi sumber dari rasa penasaranku. Inilah dia jembatan baru Lemah Abang.
Aku memarkirkan Trek-Lala di pinggir jalan dan menatap lekat-lekat wujud jembatan baru itu. Berkali-kali aku mencoba meyakinkan diri bahwasanya aku nggak salah tempat. Bahwasanya aku nggak nyasar. Bahwasanya dahulu di sinilah lokasi jembatan gantung berwarna kuning yang penuh kenangan itu.
Satu demi satu kenangan mendadak meloloskan diri dari brankas ingatanku. Aku menengok ke belakang, tampak sekumpulan warga sedang membenahi area parkir air terjun Jurug Gedhe. Saat aku ber-PEKOK ria ke sana bersama Pakdhe Timin pada tahun 2012 silam, area parkir tersebut masih berwujud ladang-ladang singkong.
SILAKAN DIBACA
Kemudian aku menengok ke samping kanan. Warung kelontong sederhana yang pada tahun 2013 silam sempat aku singgahi bersama Mbah Gundul dan Estu masih berdiri dengan bangunan yang kini lebih bagus. Aku masih ingat di sana Mbah Gundul memborong tape yang belum matang.
SILAKAN DIBACA
Terakhir, di tengah jalan tempatku berdiri saat ini dahulunya adalah lokasi di mana aku bersama teman-teman SPSS berfoto keluarga pada bulan Januari 2010. Ternyata, sudah tujuh tahun berlalu. Bahkan hampir delapan tahun! Sudah selama itukah kenangan yang setia mendekam dalam ingatanku?
SILAKAN DIBACA
Pelan-pelan aku mengayuh Trek-Lala menyeberangi jembatan. Tak ada lagi sensasi jembatan yang bergoyang yang membuat sepeda kehilangan keseimbangan.
Di tengah jembatan aku berhenti dan melongok ke bawah melihat penampakan Kali Gembyong. Kondisinya pada November ini masih mengering. Tiba-tiba saja aku teringat dengan Paklik Turtlix. Dulu sewaktu bersepeda melewati jembatan gantung dirinya nggak mau melihat ke bawah karena dirinya fobia ketinggian.
Ah, ya itu hanya sekelumit kenangan yang membuatku sedikit mellow saat melintasi jembatan baru ini.
Bagian Akhir dari Perjalanan ke Lemah Abang
Aku menyeberangi jembatan Lemah Abang untuk pulang menuju rumah. Nah, di sinilah tantangan terberatnya! #semangat
Lagi-lagi, potongan kenangan yang mendadak hadir kini memunculkan sosok seorang kawan nyentrik bernama Om Bayu. Dialah pria yang kini aku sapa lancang dengan panggilan mesra Mbah Gundul.
Aku masih ingat momen pada tahun 2010 silam tatkala sejumlah kawan SPSS memprotes Mbah Gundul yang menggiring kami ke jembatan gantung Lemah Abang. Gimana nggak? Selepas menyeberangi jembatan gantung kami langsung disambut oleh tanjakan jahanam! Kurang ajar sekali kan Mbah Gundul ini?
Jelas dari awal perjalanan bersepeda ke jembatan Lemah Abang aku sudah mempersiapkan mental untuk menghadapi tanjakan jahanam tersebut. Akan tetapi, di saat aku sarapan nasi uduk tadi ndilalah si Ibu pemilik warung memberi secuil informasi. Kata beliau,
“Tanjakannya sekarang nggak securam dulu kok Mas! Sudah dibuat landai. Kalau masnya tadi ke sini lewat (tanjakan) Petir ya tanjakan jembatan Lemah Abang itu kayaknya ya nggak berat-berat amat.”
Ternyata betul apa yang dikatakan oleh si Ibu warung. Sekarang tanjakan selepas jembatan Lemah Abang ini nggak berat-berat amat! Bisalah dilalui dengan nggak menuntun sepeda. Tapi ya aku sendiri di sepanjang perjalanan nanjak ini banyak berhenti-berhentinya untuk memelankan irama degup jantung, hehehe.
Meskipun sekarang tanjakan Lemah Abang nggak berat-berat amat, itu bukan berarti aku bisa berleha-leha! Dari kejauhan, awan hitam pekat seakan menyelimuti tiang-tiang pemancar televisi di Desa Ngoro-oro. Itu pertanda hujan sebentar lagi bakal menyapa. Apalagi semilir angin yang membawa aroma hujan semakin kuat berhembus.
Titik ujung tanjakan Lemah Abang sekaligus akhir dari proyek jalan baru adalah pertigaan yang di dekatnya terdapat toko kelontong bernama Dewa Mart. Di sini aku mengambil cabang jalan ke kiri yang akan berujung di Desa Wukirharjo, nggak jauh dari rumah-rumah domes “Teletubbies”.
Sayangnya, perjuanganku berpacu dengan turunnya hujan menuju Desa Wukirharjo berakhir gagal! Hahaha.
Tiga tanjakan yang menghadang di tengah perjalanan memaksaku untuk menuntun Trek-Lala dan menambah waktu tempuh. Hujan pun turun di tengah jalan dekat persimpangan menuju Candi Ijo. Untung aku sudah sedia mantel. Walaupun ya agak-agak kurang nyaman saja bersepeda menembus hujan di tengah jalan yang dikelilingi hutan.
Oh iya, selepas melewati Kantor Desa Wukirharjo aku sempat melewati cabang jalan ke arah curug kembar yang ditandai dengan tiang listrik. Di dekat tiang listrik kini berdiri semacam gubuk. Akan tetapi di sepanjang jalan nggak terlihat adanya papan informasi yang menunjukkan keberadaan curug.
Sepertinya Curug Kembar Wukirharjo ini mulai bersembunyi dan menunggu untuk kembali “ditemukan”.
SILAKAN DIBACA
Kira-kira pukul sepuluh lebih beberapa belas menit aku “mendarat di permukaan”. Hujan perlahan mulai reda sebagaimana pemandangan awan cerah yang kini melatari tiang-tiang pemancar televisi di Desa Ngoro-oro.
Beh! Kenapa cuaca bisa berubah secepat ini sih!? #heran
Begitulah kondisi terkini dari ruas jalan baru dan jembatan baru yang menghubungkan Kabupaten Gunungkidul (Desa Ngoro-oro, Patuk) dan Kabupaten Sleman (Desa Gayamharjo, Prambanan). Menurutku medan tanjakannya lebih “bersahabat” jika dilewati dari arah Patuk.
Pada akhirnya, hanya kenanganlah yang akan tersisa dari setiap perjalanan yang dilakukan manusia. Semoga kelak ruas jalan dan jembatan baru ini turut menjadi latar kenangan bagi mereka yang melintasinya. Semoga pula turut membawa keberkahan bagi warga di dua kabupaten.
Mungkinkah kita membuat kenangan baru di jembatan Lemah Abang yang baru ini?
KATA KUNCI
- bantul
- bukit karst
- gayamharjo
- gembyong
- gunung api purba nglanggeran
- gunungkidul
- jembatan gantung
- jembatan gantung lemah abang
- jembatan lemah abang
- jembatan sembada handayani
- kali gembyong
- lemah abang
- nasi uduk
- nglanggeran
- ngoro-oro
- patuk
- piyungan
- pohon randu alas
- prambanan
- sepeda
- situs watu gajah
- sleman
- spss
- srimartani
- tanjakan
- tanjakan jahanam
- tanjakan lemah abang
- tanjakan petir
- tebing karst
- wukirharjo
NIMBRUNG DI SINI
Saya juga suka blusukan. Sayang beda dengan masnya yang aktif mencatat setiap perjalanan dan dokumentasi foto. Saya sekedar teringat di otak untuk nostalgia. Lagian, setiap blusukan selalu sendirian, paling bagus berdua.
Adanya pembangunan justru malah keasrian dan lingkungan menjadi rusak. Bukit karst dipapras, jalan diaspal, memang secara ekonomi meningkatkan akses untuk perekonomian dan pembangunan.
Tapi jujur, mana lagi tempat seperti zaman Belanda di Jogja yang masih pelosok bisa diblusuki lagi? Deretan pantai timur Gunungkidul, Wediombo, dst sudah dikelola komersil.
Mari Mas diskusi lebih lanjut di e-mail agar pembangunan tidak semena-mena perlu daerah yang masih asri tidak perlu infrastruktur modern masuk.
Kalau untuk tempat di Jogja yang masih sama seperti zaman Belanda sepertinya nggak ada ya? Lha wong zaman sekarang saja listrik (beserta tiang-tiangnya) sudah masuk sampai desa-desa di pelosok. Belum lagi kendaraan bermotor yang semakin merakyat. Otomatis modernitas Jogja adalah suatu hal yang tidak bisa dielakkan. Mungkin juga selaras dengan program pemerintah untuk mensejahterakan rakyat. Salah satunya adalah memberikan sentuhan modernitas dalam kehidupan warga Jogja.
coba kalau tebing karst-nya di ukir ya ... pasti bakalan keren .. dan jadi desinasi wisata baru :)
penasaran lokasinya.. jebul..
ngg.. sayangnya kenapa jembatan gantung lama harus dibongkar ya.. padahal kan bisa
jembatan baru dibangun di sebelahnya, toh jalur berubah sedikit saja, kasihlah jarak 50
meter.. lha apik dan berpotensi jadi salah satu lokasi foto-foto.. tapi yo piye meneh.. wis
kebacut..
Aku nggak, foto-fotoku yang duluu-duluu entah ke mana.
Terus, aku jadi penasaran sama parkiran barunya Curug Gede. Dulu sih ke sana lewat pematang sawah, berlicin-licin pegangan sama akar rapuh :D
Parkir motornya juga masih di dekat jembatan gantungnya itu.