Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
“Bu! Kulo nyuwun dungane nggih!” [1] kataku meminta restu.
“Nggih Mas! Kula dungakke selamet! Ngatos-ngatos nggih Mas!” [2] balas si ibu warung bakso.
“Nggih Bu. Matur nuwun,” [3] jawabku menanggapi si ibu yang masih memajang raut wajah keheranan, “Pareeeng!” [4]
[1] Bu! Saya minta doanya ya!
[2] Iya Mas! Saya doakan selamat! Hati-hati ya Mas!
[3] Ya Bu. Terima kasih.
[4] Permisiii!
Adegan yang sama sekali NGGAK mengharukan itu (apalagi direkayasa ) terjadi di warung bakso yang lokasinya ada di seberang SDN 1 Hargomulyo.
Sebetulnya, selain si ibu ada juga si bapak warung bakso. Tapi, yang aku pamiti hanya si ibu karena si bapak sedang berada di luar warung mengamati sepeda gunung warna kuning bernama Trek-Lala yang menjadi tunggangan seorang pesepeda PEKOK bernama Wijna.
Selepas warung bakso inilah petualangan PEKOK yang “sesungguhnya” dimulai....
HHWWARGH!
#ceritanya.efek.suara.mengaum
Rute yang Tidak PEKOK ke Green Village Gedangsari
Eh, sebelum aku lanjut bercerita tentang adegan selepas warung bakso, ada baiknya aku ceritakan dulu apa itu Gedangsari.
Tahu kan apa itu Gedangsari?
Seperti yang bisa Pembaca googling, Gedangsari adalah nama salah satu kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Pusat pemerintahan Gedangsari bertempat di Desa Hargomulyo, lokasi di mana warung bakso yang kusinggahi itu berada.
Sesuai judul artikel, di Gedangsari terdapat suatu objek wisata nge-hits bernama Green Village Gedangsari. Di tempat ini pengunjung bisa berswafoto dengan latar pemandangan hijaunya hutan Gunungkidul dari ketinggian.
Eh iya, hutannya hijau kalau pas musim hujan lho ya! Pas musim kemarau ya hutannya cokelat!
Walaupun lokasinya di pelosok, Green Village Gedangsari sekarang lagi nge-hits!
Kalau melihat peta, Green Village Gedangsari itu dekat dengan perbatasan Klaten, Jawa Tengah.
Nah, demi memuaskan rengekan dengkul yang menyebut-nyebut nama “Gunungkidul”, pada hari Rabu (3/5/2017) aku bersepeda dari Kota Yogyakarta menuju Green Village Gedangsari.
Jarak dari Kota Yogyakarta menuju Green Village Gedangsari sekitar 40-an km. Adapun rute termudah menuju Green Village Gedangsari adalah sebagai berikut.
- Dari Kota Yogyakarta ikuti Jl. Raya Yogyakarta – Wonosari
- Nanjak di Tanjakan Patuk (Bukit Bintang)
- Belok kiri di pertigaan Sambipitu
- Di pertigaan Gedangsari – Nglipar belok kiri, ambil arah ke Gedangsari
- Sampai di Desa Hargomulyo lanjut ikuti jalan aspal
- Di pertigaan ke turunan Watugajah ambil arah lurus ke Green Village Gedangsari
Seumpama bingung, di sepanjang jalan sudah terpasang banyak papan petunjuk arah ke Green Village Gedangsari bikinan Dishubkominfo. Masak ya masih nyasar?
Dari Rumah Sampai Masuk Gedangsari
Sebagaimana umumnya bersepeda PEKOK yang sudah-sudah, aku berangkat dari rumah sekitar pukul 05.15 WIB pada saat langit Jogja masih gelap. Aku memilih rute umum lewat Jl. Malioboro → Jl. Kusuma Negara → Jl. Gedong Kuning → Jl. Raya Jogja – Wonosari.
Aku sampai di dasar Tanjakan Patuk sekitar pukul 06.15 WIB. Setelah itu mengerahkan tenaga untuk melibas tanjakan dan sampai di puncak sekitar pukul 06.50 WIB.
Pada waktu itu di Tanjakan Patuk ke arah Bukit Bintang sedang ada perbaikan jalan. Arus lalu lintas dibuka-tutup. Alhasil, bersepeda nanjaknya jadi sedikit lebih lama deh. #alasan #bilang.saja.lemah
Di saat orang-orang masih tidur dan kerja akunya malah bersepeda, wkwkwkwkw.
Macet parah di tanjakan Patuk arah ke Bukit Bintang!
Waktu itu sebagian ruas jalannya sedang dibeton.
Dari puncak tanjakan Patuk aku lanjut bersepeda menyusuri Jl. Raya Jogja – Wonosari ke pertigaan Sambipitu yang berjarak sekitar 8 km. Medan jalannya naik-turun tapi lebih banyak turunnya. Aku sampai dengan selamat di pertigaan Sambipitu sekitar pukul 07.20 WIB.
Ndilalah di dekat pertigaan Sambipitu ada mbak-mbak yang jualan nasi uduk dan bubur ayam. Kebetulan perutku juga belum diisi. Jadi, di sana aku istirahat sambil sarapan bubur ayam.
Sepiring bubur ayam dengan segelas teh manis hangat cukup ditebus dengan uang sebesar Rp6.000! Enak, murah, lan ngenyangke. Alhamdulillah...
Rasanya pingin makan dua piring bubur . Tapi mengingat perjalanan masih panjang yo wis lah....
Di Pertigaan Sambipitu ini jalan bercabang dua. Kalau lurus terus mengikuti jalan besar nanti sampai Kota Wonosari. Kalau belok kiri ke arah Gedangsari dan Nglipar.
Jelas aku harus ngambil belokan ke kiri toh?
Keluar dari Jl. Raya Jogja – Wonosari dan beralih ke Jl. Patuk – Nglipar, suasananya pun ikut berubah. Kalau dari tadi ramai kendaraan, sekarang mau guling-guling di tengah jalan pun nggak jadi soal. #sepertinya.sih
Suasananya cocok lah buat bersepeda. Adem. Asri. Tapi ya medan jalannya masih dibumbui sedikit tanjakan sih. Terutama pas menuju Pasar Ngelegi (yang aku yakin hari pasarannya pasti Legi! )
Mulai disambut sama jalan menanjak yang untungnya masih bersahabat dengan dengkul.
Dulu pernah viral sekarang ditinggalkan.
Nggak ada 10 menit bersepeda dari Pasar Ngelegi sampailah aku di suatu pertigaan. Di pertigaan ini kalau lurus terus ke arah Nglipar. Sedangkan kalau belok kiri ke arah Gedangsari. Jadi ya aku belok kiri dong!
Apabila mencermati angka-angka yang tertera di patok kilometer di pinggir jalan, saat ini aku berada sejauh 30 km dari Kota Jogja! Waow!
Jarak ke Desa Hargomulyo sendiri hanya tinggal 7,65 km lagi. Termasuk dekat lah ya. Apalagi waktu masih menunjukkan pukul 08.10 WIB.
Bersepeda ke Gedangsari kok rasanya cepat banget sih? Hahaha.
Penasaran juga kapan-kapan pingin ke Nglipar ke Embung Batara Sriten.
Pusat Kecamatan Gedangsari sudah dekat!
Tempat-Tempat Menarik di Desa Ngalang Gedangsari
Nah, mungkin karena pada saat itu aku merasa waktunya masih pagi jadinya aku khilaf.
Eh, khilaf di sini dalam artian aku banyak membuang-buang waktu buat berhenti di sejumlah tempat menarik di pinggir jalan.
Lha ya pikirku, kapan lagi toh ya bisa menikmati sepeda santai pagi-pagi begini di Gedangsari? Pada hari kerja pula!
Mungkin juga khilaf karena banyak turunannya.
Memasuki wilayah Desa Ngalang (diberi nama gitu karena ada Kali Ngalang ), aku disambut oleh pemandangan hamparan sawah yang menghijau. Waaah! Adem rasanya lihat sawah yang hijau-hijau seperti ini. Rasanya jadi kepingin berlama-lama bersepeda di Gedangsari.
Ndilalah, di tengah sawah aku lihat ada tulisan besar berbunyi,
REST AREA GUBUGGEDHE GEDANGSARI
Batinku,
“Iseng amat ada yang bikin rest area di tempat sawah-sawah kayak gini.”
Lha, umumnya kan rest area itu tempatnya di pinggir jalan tol toh?
Tempat yang mengundang rasa penasaran. Rest area di tengah sawah!?
Tapi, pas melintasi tulisan besar itu mendadak aku merasa ada “sesuatu” di sana. Mungkin efek dari kebanyakan bersepeda sama Mbah Gundul kali ya? Hahaha . Jadilah aku iseng-iseng menghampiri Rest Area Gubug Gedhe itu.
Ternyata, Gubug Gedhe adalah lokasi cagar budaya. Di tempat ini terdapat pondasi bangunan yang aku duga sebagai pondasi bangunan bernama Gubug Gedhe. Penasaran juga gubug gedhenya sebesar apa sih?
Eh, cerita lebih rinci tentang Gubug Gedhe kapan-kapan aku tulis di artikel terpisah. Soalnya, kisah Gubug Gedhe lumayan panjang, hihihi.
Pondasi bangunan yang bernama gubug gedhe.
Selepas dari Gubug Gedhe, aku masuk wilayah Dusun Karanganyar. Sebagaimana tipikal pedesaan di sudut-sudut Yogyakarta, suasana di Dusun Karanganyar ini damai dan tentram. Enak sebagai tempat sepedaan lah pokoknya.
Tanjakan panjang menanti selepas melewati pemukiman Dusun Karanganyar. Tapi tenang, tanjakannya masih bisa dilalui tanpa perlu menuntun Trek-Lala, hehehe.
Di pinggir jalan puncak tanjakan, ndilalah aku lihat ada poster besar objek wisata alam bernama Watu Tumpang. Lagi-lagi, karena penasaran aku pun mampir mengengok apakah gerangan tempat bernama Watu Tumpang tersebut.
Watu Tumpang itu apa lagi!?
Jadi ini yang namanya Watu Tumpang.
Hooo... ternyata tempat bernama Watu Tumpang ini mirip-mirip seperti wisata pinggir tebing di Mangunan macamnya Pangguk Kediwung, Jurang Tembelan, Mojo Gumelem, dkk. Daya tariknya indahnya pemandangan hutan dan lembah sungai dari ketinggian.
Walaupun ya... menurutku sih pemandangannya lebih indah yang di Mangunan sana itu. Kali Ngalang yang berada di dasar jurang kurang fotogenik karena debit airnya kecil. Apa harus menunggu musim hujan besar ya?
Banyak warga yang pulang ngarit lewat Watu Tumpang.
Kalau di Mangunan pemandangannya Kali Oya di sini Kali Ngalang.
Kalau dipikir-pikir, kok ya aku kurang kerjaan banget bersepeda sampai sini?
Berdasarkan hasil ngobrol-ngobrol sama warga setempat dan mas-mas pengunjung yang minta foto bareng (serius ini! ), katanya sih Watu Tumpang ini memang mau dikonsep seperti wisata di Mangunan itu. Tinggal sekarang gimana semangat warga setempat mengelola lokasi potensial ini.
Tantangan Terberat ke Green Village Gedangsari
Jalan panjang yang menurun hadir selepas objek wisata Watu Tumpang. Perjalanan berlanjut dengan menyusuri pinggir Kali Ngalang. Beberapa saat kemudian aku masuk wilayah Dusun Buyutan. Di sini aku sempat berhenti buat beli minum.
Di Dusun Buyutan, pemandangan hijaunya hamparan persawahan datang menyapa. Sawah-sawahnya unik karena berada di lereng-lereng perbukitan. Bukit-bukitnya juga sangat menggoda untuk didaki! Seakan-akan puncak-puncak bukit-bukit itu bisa digapai hanya dalam sekian menit.
Kalau saja ini bukan di pelosok Gunungkidul, mungkin aku sudah berlama-lama bersepeda di sini. Lha, balik ke Kota Jogja-nya jauh banget!
Selain sawah-sawah yang menarik, itu puncak bukitnya juga menarik buat didaki lho!
Di ruas jalan ini ndilalah aku juga bertemu dengan jembatan kenangan. Dulu pada tahun 2011, aku pernah berfoto dengan kawan-kawan PEKOK di jembatan ini pada perjalanan pulang dari Curug Banyunibo di Patuk.
Selepas menyeberang jembatan tersebut medan jalannya berubah menjadi tanjakan. Di ujung tanjakan ini terdapat papan batas wilayah Desa Hargomulyo yang merupakan ibu kota Kecamatan Gedangsari.
Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di pusat Kecamatan Gedangsari! Waktu menujukkan pukul 09.55 WIB.
Jembatan yang menyimpan kenangan PEKOK di masa muda.
Trek-Lala berhasil sampai pusat Kecamatan Gedangsari!
Untuk merayakan keberhasilan bersepeda sampai Desa Hargomulyo, aku memutuskan mbakso di warung depan SDN 1 Hargomulyo itu. Awalnya sih pingin makan nasi rames. Tapi setelah dipikir-pikir, makan bakso lebih menggoda karena berkuah, hangat, dan gurih. NYAM!
Aaah... nikmat manakah yang hendak kamu dustakan dari semangkuk bakso dan segelas teh panas tawar seharga total Rp10.000?
Saking lapernya jadi lupa motret pas masih utuh.
Rampung mbakso, sekarang saatnya menuntaskan 7 kilometer yang tersisa menuju Green Village Gedangsari. Inilah medan yang puuualing berat di sepanjang perjalanan! Sudah pasti, itu karena medan jalannya berwujud...
TANJAKAN JAHANAM!
Perkara tingkat ke-jahanam-annya... ya... kalau Tanjakan Cinomati itu level 10, tanjakan ke Green Village Gedangsari ini level 8 lah. Alhasil, menuntun Trek-Lala adalah sesuatu hal yang sering aku praktekkan, gyahahaha.
Aku sendiri membagi tanjakan ke Green Village Gedangsari ini ke dalam tiga bagian:
- Tanjakan Pembuka Dusun Jambon
- Tanjakan Hutan Dusun Jatibungkus
- Tanjakan Papan 5 km ke Green Village Gedangsari
Tanjakan yang paling berat adalah tanjakan yang terakhir. Sampai-sampai aku sempat nyantai tiduran sebentar di pinggir jalan karena terik matahari panasnya bukan main. Beh!
Tanjakan-tanjakan ekstrem yang silih berganti datang menghadang. SEMANGAT!!!
Di ujung tanjakan panjang yang jahanam ini terdapat pertigaan dengan gapura dan pos ronda. Kalau belok kiri mengikuti jalan ke arah gapura itu bakal menjumpai turunan panjang nan terjal bernama Turunan Watugajah. Kalau lewat Turunan Watugajah itu nanti bisa tembus ke Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Sementara itu, kalau lurus mengikuti jalan aspal (nggak belok kiri) nanti bisa mencapai Green Village Gedangsari. Itulah jalan yang aku pilih.
Puncak dari ujung tanjakan bernama pertigaan Watugajah.
Eeeh, pas aku sedang bersepeda di jalan aspal ini tiba-tiba turun gerimis terus hujan deras! Weh!
Terik panas matahari sewaktu melahap tiga tanjakan itu ternyata pertanda mau hujan toh? Alhamdulillah, di pinggir sawah di dekat kuburan ada gubuk yang nggak berpenghuni. Di sanalah aku berteduh sambil tidur menunggu hujan reda.
Ah, nikmat mana lagi yang bakal kamu dustakan bisa berteduh di tempat antah berantah seperti ini.
Pas berteduh di gubuk ini jadi kepikiran buat nulis puisi.
SILAKAN DIBACA
Yang Terkenal dari Green Village Gedangsari
Setelah hujan reda sekitar pukul 12.11 WIB aku melanjutkan perjalanan menuju Green Village Gedangsari. Jarak yang tersisa kira-kira tinggal 1 km lagi. Medan jalannya masih nanjak walaupun nggak berat-berat amat.
Beberapa ratus meter menjelang lokasi Green Village Gedangsari, lagi-lagi pemandangan indah kembali menyambut. Panorama cantik bentang alam Klaten terhampar luas di sisi utara. Subhanallah!
Jalan yang aku lalui ini ternyata jalan yang menyusuri tepian puncak bukit. Pantas saja pemandangannya indah.
Rupanya, sisa jalan ke Green Village Gedangsari masih sedikit menanjak.
Bersepeda menyusuri jalan pinggir tebing ini lumayan mengasyikkan...
...soalnya pemandangan di pinggir jalannya seperti di atas itu.
Akhirnya, setelah perjalanan bersepeda yang panjang dan melelahkan, aku tiba di Green Village Gedangsari sekitar pukul 12.30 WIB. Secara administratif Green Village Gedangsari terletak di Dusun Guyangan Lor, Desa Mertelu, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.
Untuk masuk ke dalam Green Village Gedangsari aku dikenai tiket masuk sebesar Rp5.000. Sedangkan untuk parkir sepedanya gratis. Kata pak petugas parkir, akhir pekan yang lalu baru saja ada rombongan pesepeda yang bermalam di sini.
Wew! Ternyata manusia PEKOK yang bersepeda ke mari bukan hanya aku thok, hahaha.
Ada banyak gazebo untuk bersantai menikmati pemandangan.
Sepengamatanku di Green Village Gedangsari hanya ada segelintir warung sederhana.
Gardu pandang yang berhiaskan pemandangan hutan Gunungkidul.
Gardu pandang yang berhiaskan pemandangan hamparan sawah di Klaten.
Selain gardu-gardu pandang dan gazebo-gazebo untuk menikmati pemandangan, Green Village Gedangsari rupanya juga memiliki wahana flying fox!
Flying fox Green Village Gedangsari ini disebut-sebut sebagai flying fox terpanjang se-Asia Tenggara dengan panjang trek 625 meter! Waow....
Untuk menjajal wahana uji nyali ini pengunjung ditarik biaya Rp100.000 per orang. Kata bapak yang bertugas, flying fox ini baru ada awal tahun 2017 ini.
Aku sih nggak begitu berminat menjajal flying fox walaupun pemandangan sepanjang meluncur kayaknya cakep juga . Yang bikin aku heran, pada waktu itu salah satu rombongan peminat wahana flying fox adalah turis-turis asal Malaysia.
Weh! Tahu dari mana turis-turis Malaysia itu sama tempat di pelosok Gunungkidul ini?
Berani uji nyali di wahana flying fox terpanjang se-Asia Tenggara?
Tapi ya, semoga dengan adanya wahana flying fox bisa membuat Green Village Gedangsari semakin populer dan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan warga Gedangsari.
Aaamiin.
Di Green Village Gedangsari aku istirahat lumayan lama. Nongkrong ngeteh di warung dan ngemil sebungkus bakso-bakso mungil. Soalnya, petualangan PEKOK-ku pada hari ini masih jauh dari kata usai.
Yuk, lanjut bersepeda ke...
KATA KUNCI
- alam
- bakso
- buyutan
- flying fox
- flying fox green village gedangsari
- gedangsari
- green village gedangsari
- gubug gedhe
- gunungkidul
- guyangan lor
- hargomulyo
- jambon
- jatibungkus
- kali ngalang
- mertelu
- ngalang
- pasar ngelegi
- patuk
- pekok
- sambipitu
- sawah
- sawah gedangsari
- sepeda
- sungai ngalang
- tanjakan
- tanjakan jahanam
- turunan watugajah
- warung bakso
- watu tumpang
- watugajah
NIMBRUNG DI SINI
Aku belum pernah ke Gunungkidul.
asyik banget.
Kapan-kapan main ke Jogja boleh nih minta ditemenin mblusuk kemana-mana pake pit-pitan..