Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Sang Otaku mau balas dendam!
Tempo hari pas ke Kebumen, dirinya kurang puas menikmati yutuk goreng karena lagi sakit batuk. Beberapa minggu kemudian, setelah sakit batuknya sembuh ternyata dia masih mendamba yutuk goreng.
“Kita ke Kebumen lagi!?” tanyaku ke Sang Otaku.
Disodori pertanyaan yang seperti itu jelas Sang Otaku ya mikir-mikir. Lha mosok ya harus mengulangi lagi peristiwa bersepeda motoran malam-malam sejauh 100 km dari Kota Jogja ke Kota Kebumen?
SILAKAN DIBACA
“Eh, kalau cuma yutuk goreng kayaknya di Pantai Glagah ada.” Aku mendadak teringat sama artikel di internet yang pernah kubaca.
“Pantai Glagah? Mana itu?” Sang Otaku yang asalnya dari wilayah plat AD kebingungan.
“Di Kulon Progo. Sekitar 60 km atau 2 jam lah dari sini.”
“Yoh!” Sang Otaku bersemangat. “Jadi kapan berangkat?”
Petualangan kuliner lagi bersama Sang Otaku.
Sambutan Air Laut
Alhasil, pada hari Sabtu (10/12/2016) aku dan Sang Otaku pun bersepeda motoran dari Sarang Penyamun menuju Pantai Glagah di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Rute perjalanan ke Pantai Glagah ya tetap memakai rute sejuta wisatawan yaitu lewat Jl. Wates. Di Kota Wates sendiri sudah banyak petunjuk arah ke Pantai Glagah. Kalau bingung ikuti saja jalan raya lintas provinsi ke arah Purworejo.
Ya, pokoknya perjalanan ke Pantai Glagah nggak pakai acara nyasar-nyasar lah. Ibarat jalan sambil tutup mata saja bisa sampai kok! Hahaha. #sombong
Sekitar pukul setengah 10 siang kami tiba dengan selamat di Pantai Glagah. Berangkatnya sengaja ngepas-pasi agak siang karena takutnya penjual yutuk goreng belum beroperasi kalau pagi.
Eh, tapi ya karena bangun tidurnya kesiangan juga deh, hehehe.
Pas banjir kolam renangnya mendadak jadi luas.
Beh! Rupanya pada waktu itu air laut sedang pasang naik. Jadilah di kawasan parkir pengunjung dan di sekitaran kios-kios tergenang air.
Rupanya, Pantai Glagah bisa “banjir” juga ya?
“Wah, ini belum seberapa Mas! Pas bulan puasa kemarin airnya bisa sampai dengkul!” kata seorang ibu pemilik kios.
Laguna Pantai Glagah yang menjadi sumber air yang menggenangi kawasan kios.
Mbuh karena kondisi yang serba tergenang air ataukah bingung sebagai “pendatang baru”, Sang Otaku memarkir sepeda motornya bukan di parkir tapi malah di dekat kios-kios. Mas tukang parkir seperti sempat mau menegur tapi nggak jadi. Jadinya kami parkir tanpa ditarik ongkos parkir deh, hehehe.
Jalan-Jalan Dulu
Pucuk dicinta ulam pun tiba!
Di dekat tempat Sang Otaku memarkir sepeda motornya berjejer kios-kios penjual yutuk goreng!
Tapi, masak ya ke Pantai Glagah cuma beli yutuk goreng terus langsung pulang sih?
Jadinya kami jalan-jalan dulu deh mengecek kondisi Pantai Glagah.
Yang berjualan di atas tanggul bebas banjir.
Buatku, Pantai Glagah adalah salah satu pantai di Yogyakarta yang menyimpan banyak kenangan. Walaupun ya Pantai Glagah ini termasuk pantai yang paling jarang aku sambangi sih, hehehe.
Aku kenal Pantai Glagah pertama kali pas zaman kuliah dulu. Sekitar tahun 2006 gitu. Pada waktu itu aku dan teman-teman seangkatan 2004 di prodi Matematika UGM berwisata ke Pantai Glagah.
Itulah pertama kalinya aku tahu kalau Kabupaten Kulon Progo ternyata juga punya pantai, hahaha. Meskipun bentuk pantainya masih “satu aliran” sama Pantai Depok dan Pantai Parangtritis sih.
Pada tahun 2016, ya sekitar 10 tahun setelah kunjungan pertamaku itu, aku mencermati kondisi Pantai Glagah sudah banyak berubah. Sepertinya lokasi tempatku dan teman-teman seangkatan main air dulu ya juga sudah “menghilang”.
Eh, apa akunya yang lupa ya?
Anak-anak SDN Seboropasar Purworejo berwisata di Pantai Glagah.
Sekarang ini foto-foto di media sosial yang berjasa mengangkat popularitas Pantai Glagah adalah foto di tanggul pemecah ombak. Dulu, tahun 2006 itu sewaktu aku pertama kali ke Pantai Glagah sepertinya tanggul pemecah ombak belum ada deh.
Untuk mencapai lokasi foto di tanggul pemecah ombak yang populer di media sosial itu ya dengan berjalan kaki sekitar 100 meter dari kios-kios. Sayang, pada waktu itu ombak Pantai Glagah besar tapi kurang beringas buat jadi objek foto yang bagus. #eh
Kalau ada ombak besar di sini bagus. Ada modelnya juga bagus. Asal rela basah-basahan aja sih.
Tapi, aku sendiri ya agak ngeri motret di tanggul ini. Lha, kalau sewaktu-waktu datang ombak besar terus nyiprat kena kamera kan ya bisa bikin rusak! Masak ya ngulang tragedi di Pantai Buyutan Pacitan yang dulu itu lagi?
Sewaktu di tanggul itu aku sempat ngewangi mas-mas yang minta dipotretkan bersama istri dan anaknya. Yang bikin aku keder adalah kamera si masnya itu Nikon D750 dengan lensa 28-300! Jelas kalau kecipratan ombak besar bakal berapa puluh juta itu yang melayang? Hahaha.
Ombaknya besar bikin nggak konsentrasi pas motret.
Tapi, sebagai sesama “umat Nikoniyah”, kan jelas harus saling bantu-membantu toh?
Balik ke Misi Utama
Karena sepertinya sudah nggak ada yang bisa dieksplorasi dari Pantai Glagah, aku dan Sang Otaku pun balik ke kios-kios menuntaskan misi yang menjadi judul artikel ini.
Lapak penjual yutuk goreng yang kami sambangi adalah yang persis bersebelahan dengan tanggul. Sepertinya ini lapak penjual yutuk goreng yang paling besar (dan laris) deh.
Sembari Sang Otaku bertransaksi dengan ibu kios, aku mengamati cara pengolahan yutuk goreng. Ternyata, cangkang yutuk goreng di Pantai Glagah ini sebelum digoreng dikuliti dulu. Jadi agak kurang kriuk-kriuk sih menurutku. Beda sama yutuk goreng di Pantai Petanahan Kebumen yang digoreng secangkang-cangkangnya.
Yutuk mentah yang belum diolah.
Mencabuti cangkang yutuk satu per satu dengan tangan.
Yutuk setelah cangkangnya dikuliti.
Cangkang-cangkang yutuk.
Yutuk goreng siap untuk disantap!
Menurut keterangan si mbak yang sedang ngupasi cangkang, yutuk atau undur-undur laut (Emerita sp.)ini disetor oleh nelayan tiap harinya. Dalam sehari bisa berpuluh-puluh kilogram yutuk yang diolah. Yutuk ternyata juga nggak bisa dibudidayakan.
Harga yutuk goreng di Pantai Glagah masih sama ekonomisnya dengan di Pantai Petanahan, yakni Rp5.000 per bungkus. Selain yutuk goreng di kios tempat kami membeli ini juga tersedia ikan kecil goreng dan udang goreng.
Aku sendiri membeli udang goreng seharga Rp10.000. Lumayanlah buat teman ngemil sepanjang perjalanan pulang ke Sarang Penyamun.
Ikan goreng tepung sebelum diolah. (Lupa nama jenis ikannya apa )
Ikan goreng tepung siap untuk disantap!
Dijualnya sesuai bobot. Mau beli satu kilogram juga boleh.
Singkat cerita, perburuan yutuk goreng di Pantai Glagah ini pun diakhiri dengan menyantap soto ayam (Sang Otaku nasi rames) di warung sederhana yang ada di pinggir jalan raya lintas provinsi. Karena udang goreng yang tadi aku beli masih ada, jadilah aku taburkan itu udang goreng sebagai topping soto, hehehe.
Aku jadi mikir. Kok seumur-umur aku nggak pernah ngerti ada soto udang atau soto ayam dengan topping udang goreng gitu ya?
Padahal kombinasi soto ayam dan udang goreng itu enak juga lho!
Soto ayam dengan topping udang goreng sip tenan!
Sekian dan selamat beli camilan goreng-gorengan di Pantai Glagah, Kulon Progo, DI Yogyakarta!
NIMBRUNG DI SINI
Iya, digorengnya memang sekalian dengan cangkangnya Kang.
pengen balik jogja :(
btw yutuk itu sebutan undur2 dr daerah mana ya?
Yutuk itu sepertinya bahasa Jawa ya? Pas ke Kebumen itu mereka juga ngerti yutuk kok.