Saat Mbah Gundul menawari pilihan bersepeda ke Ngoro-oro, ke Imogiri, atau ke Nanggulan, tanpa pikir panjang aku memilih pilihan bersepeda ke Ngoro-oro.
Pilihan yang "aneh" toh? Karena sepintas, bersepeda ke Imogiri atau ke Nanggulan terdengar lebih “bersahabat” dibanding ke Ngoro-oro yang medannya didominasi tanjakan.
Hanya saja, karena aku menduga Mbah Gundul menyiapkan “udang dibalik rempeyek” di rute bersepeda ke Imogiri dan Nanggulan, maka aku berasumsi kalau ke Ngoro-oro lebih “aman”. Toh, paling rutenya ya lewat tanjakan Patuk yang mana sudah sangat familier sekali buat dengkulku.
Pasti lewat sini lagi...
Eh iya, kalau Pembaca sering mengikuti blog-ku ini, pastinya sudah tahu dong apa itu Ngoro-oro? Kalau belum tahu, Ngoro-oro itu adalah nama sebuah desa di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Ciri khas dari Desa Ngoro-oro adalah terdapat banyak sekali menara pemancar stasiun televisi. Jarak Desa Ngoro-oro dari Kota Jogja sekitar 20-an km.
SILAKAN DIBACA
Lima Pandawa dari Jogja ke Piyungan
Nah, pada hari Sabtu (29/12/2012) yang lalu berkumpullah lima orang yang akan bersepeda menuju Ngoro-oro. Ada aku, Kang Supri, Rales, Sepri, dan tentunya Mbah Gundul. Kami semua berangkat dari Padepokan Ki Ageng Sekar Jagad di seputaran Ambarukmo Plaza sekitar pukul setengah delapan pagi.
Perjalanan kami mulai dengan menuju perempatan Blok O untuk berbelok ke arah Berbah. Kami melewati rute yang biasa kami lalui untuk menuju ke Candi Abang. Yang membedakan adalah kami berbelok di jalan desa yang mengarah ke bekas lokasi crop circle. Dari sana kami mengikuti jalan desa, menyebrang jalan raya Prambanan – Piyungan, dan masuk wilayah Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
SILAKAN DIBACA
Semoga Tidak Disambar Petir
Saat memasuki Desa Srimartani, Mbah Gundul ngasih pengumuman kalau kali ini rute bersepeda ke Ngoro-oro nggak lewat tanjakan Patuk. Simbah bilang, ada jalan lain menuju Ngoro-oro yang lebih singkat dibandingkan lewat tanjakan Patuk. Tapi ya itu... resikonya medan jalannya itu berwujud tanjakan curam. Securam Tanjakan Cinomati lah.
HAAAH!?
...nasib...nasib...
Rute tanjakan inilah yang Mbah Gundul sebut sebagai Tanjakan Petir. Sebab, tanjakannya bermula dari Dusun Petir yang termasuk wilayah Desa Srimartani. Semoga saja, diberi nama seperti itu bukan karena di tanjakan sana sering jadi lokasi sambaran petir . Doh!
Untuk memudahkan, tiap titik pemberhentian di perjalanan menanjak aku beri nama.
Pos 1. Start dari Toko Kelontong
Berhubung kata Mbah Gundul di sepanjang tanjakan nggak ada warung babar blas, kami beli bekal dulu deh di toko kelontong “Mbak Titik”. Nggak lucu aja, kalau pas nanjak kami kekurangan “bahan bakar”. Padahal paling-paling kalau capek nanjak ya nuntun atau duduk-istirahat, hehehe.
Mampir toko kelontong dulu, beli perbekalan.
Nah, sekitar 50 meter dari toko kelontong itulah tersaji pemandangan yang menggetarkan hati. Aku pun mengumpulkan niat dan mencoba berdamai dengan umpatan,
“Duh! Kok pas mulai nanjak sudah curam begini medannya?” #pasrah
hadeh...
Pos 2. Cakruk
Tanjakan dari Pos 1 menuju Pos 2 sudah termasuk berat. Tapi masih bisa dikayuh pelan-pelan tanpa menuntun sepeda. Apalagi di jalan masih banyak warga yang berlalu-lalang, menyapa, dan memberi semangat,
“Ayo Mas! Di depan tanjakannya masih ada!” #ohmigot
Sepanjang tanjakan menuju Pos 2.
Cakruk, cuma numpang lewat.
Pos 3. Masjid
Medan tanjakan dari Pos 2 ke Pos 3 sebenarnya hampir sama dari Pos 1 ke Pos 2. Hanya saja, jaraknya lebih panjang. Tenaga yang sudah nyaris habis saat menerjang Pos 2 harus kembali diperas lagi saat menuju Pos 3. Sepertinya, barang siapa yang bisa melewati tanjakan ke Pos 3 tanpa berhenti, layak deh dinobatkan jadi ketua RT. #lebay
Istirahat di sekitar Masjid. Capek!
Pos 4. Bilik WC Warna Biru
Ciri khas dari Pos 4 adalah bilik WC berwarna biru yang mana aku lupa memotretnya karena batas kesadaranku masih sebatas garis tipis seusai menerjang tanjakan dari Pos 3 ke Pos 4. Jaraknya sih nggak jauh, tapi kemiringan jalannya nyaris vertikal! Doh! Ada benarnya juga omongannya Mbah Gundul kalau Tanjakan Petir ini sekelas Tanjakan Cinomati.
Tanjakannya nggak manusiawi. Tapi kok masih ada orang yang mau hidup di sini ya?
Udah deh! Yang bisa lewat tanjakan ini tanpa berhenti atau nuntun dikasih sawah saja lah supaya nanti hidup bahagia sampai akhir nyawa. Yang nggak bahagia itu kalau kebelet ingin ngendog pas nanjak. Karena di sini, air susah! #apa.sih
Pos 5. Lapangan Rusak
YES! Inilah berkah dunia! Tanjakan Petir yang curam itu sudah berakhir! Menara pemancar televisi pun sudah terlihat! Tandanya Desa Ngoro-oro sudah dekat!
Jalannya nggak nanjak lagi!
Lapangan yang rusak.
Kalau sudah begini, hati jadi senang deh. Tenaga serasa terisi penuh lagi. Pun muncullah dorongan nafsu untuk ngebut menuju titik finish.
Eh, tapi ternyata menjelang titik finish jalannya nanjak lagi! Weladalah! Kok ya mendadak dapat "kejutan" tanjakan begini? Padahal tenaga sudah dipakai buat ngebut. Capek deh. Akhirnya milih nuntun sepeda. Gagal sudah dapat sawah plus jadi ketua RT. #mengkhayal
Syukur! Salah siapa ngebut . #jangan.takabur
Titik Finish di Desa Ngoro-oro
Setelah perjalanan sekitar 1 jam (ditambah istirahat ngobrol ngalor-ngidul bareng Sepri sekitar 30 menit), sampai juga di cabang jalan yang dekat dengan kantor Desa Ngoro-oro. Kalau dipikir-pikir ya memang lebih singkat ke Ngoro-oro lewat Tanjakan Petir dibandingkan bila harus memutar lewat Tanjakan Patuk terlebih dahulu.
Jadi ini toh yang tadi kita lewati?
Tanjakan Petir itu sebenarnya punya nama resmi Jalan Petir – Umbulsari. Jalan ini diresmikan 18 Mei 2011 sebagai penghubung Dusun Petir (di bawah bukit) dan Dusun Umbulsari (di atas bukit) yang keduanya itu masih termasuk wilayah dari Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Pandawa yang berhasil menaklukkan Tanjakan Petir!
Di Desa Ngoro-oro, kami foto-foto dulu dengan latar menara pemancar stasiun televisi. Setelahnya, kami sarapan siang di warung dekat objek wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
Agenda bersepeda hari ini diakhiri dengan membeli buah durian di jalan dari Ngoro-oro menuju Patuk. Untuk yang ini, aku hanya berani ngicip satu biji durian saja, soalnya nggak tahan dengan baunya, hehehe.
Isi bensin dulu. Kota Jogja masih jauh!
Kalau buatku sih baunya bikin (agak) mual...
Akhir kata, Tanjakan Petir memang layak jadi rute singkat menuju Ngoro-oro dari Piyungan tanpa perlu melalui Patuk.
Sudahkah Pembaca berkunjung ke Ngoro-oro akhir-akhir ini? Cobain deh lewat tanjakan Petir!
NIMBRUNG DI SINI
nanjak di tanjakan itu. Bagi yg belum pernah
lewat jalan itu menggunakan kendaraan
harap berhati hati karena disitu rawan
kecelakaan🙏
Timur